Dogeng Anak Pipit Dan Kera
Tersebutlah seekor kera yang
tinggal sendiri di atas pohon di dekat sebuah tepian. Kera itu ditinggalkan
kawan-kawannya karena ia sombong dan mementingkan diri sendiri. Dia menganggap
pohon tempat tinggalnya itu miliknya sehingga kera-kera lain tidak diizinkan
tinggal di sana. Tepian mandi itu pun dianggap miliknya.
Ada seekor itik yang selalu pergi
ke tepian itu. Dia senang mandi sepuas-puasnya di tepian itu setelah selesai
mencari makan dan kenyang perutnya.
Pada mulanya, kera membiarkan
itik itu mandi di tepian. Akan tetapi, ketika dia melihat air di tepian menjadi
keruh setiap itik itu selesai dia pun marah.
“Cis tak tahu malu, mandi di
tepian orang lain!” maki kera kepada itik yang baru saja selesai mandi.
“Bercerminlah dirimu yang buruk rupa itu! Patukmu seperti sudu (paruh yang
lebar). Matamu sipit seperti pampijit (kutu busuk)! Sayapmu lebar seperti
kajang sebidang (selembar atap dari dawn nipah)! Jari-jarimu berselaput jadi
satu! Enyahlah kau, itik jelek!”
Itik malu dan sakit hati dicemooh
seperti itu. Ingin sekali dia menantang kera untuk berkelahi. Akan tetapi, dia
takut dikalahkan kera besar itu. Dia pun menangis sepanjang jalan menumpahkan
kekesalan dan kejengkelannya.
Seekor induk pipit yang sedang
memberi makan kepada anak-anaknya terkejut. Dia melongokkan kepala dari
sarangnya yang tinggi di atas pohon.
“Hai itik yang baik, mengapa
engkau menangis sepanjang jalan? Beri tahu kepadaku apa sebabnya. Mungkin aku
dapat menolongmu!”
“Kera besar di atas pohon di
tepian itu menghinaku!” jawab itik. “Aku malu sekali! Itu sebabnya aku menangis!”
Itik itu menangis kembali seperti tadi.
“Ooo begitu! Apa saja yang
dikatakannya?”
Itik menceritakan kembali semua
caci maki yang diucapkan kera. Mendengar penjelasan itik, induk pipit segera
berkata, “Berhentilah menangis, itik yang baik! Besok kembalilah ke sana dan
mandilah sepuasmu!”
“Aku takut! Aku malu dimaki kera
itu lagi!”
“Jangan takut, itik yang baik!
Kalau kera itu memakimu, balaslah! Sebutlah segala keburukannya!”
Induk_pipit pun mengajari itik
membalas cemoohan kera.
“Terima kasih, induk pipit yang
baik! Besok aku akan mandi lagi ke tepian dan nasihatmu akan kuturuti!” Dengan
perasaan tenang, itik kembali ke rumah. Kekesalannya agak terhibur dengan
nasihat induk pipit.
“Esok tahu rasa kau, hai kera
yang sombong!” katanya dalam hati sambil tersenyum seorang diri.
Keesokan harinya, itik itu mandi sepuas-puasnya di tepian seperti biasa. Bukan main marahnya kera menyaksikan itik mengeruhkan air di tepian itu lagi.
Keesokan harinya, itik itu mandi sepuas-puasnya di tepian seperti biasa. Bukan main marahnya kera menyaksikan itik mengeruhkan air di tepian itu lagi.
“Hei, berhenti! Apakah engkau
tetap tak punya rasa malu?” jeritnya dari atas dahan.
Itik pura-pura tidak mendengar jeritan itu. Dia terus mandi dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Setelah puas, barulah dia naik ke tebing dan slap pulang ke rumah.
Itik pura-pura tidak mendengar jeritan itu. Dia terus mandi dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Setelah puas, barulah dia naik ke tebing dan slap pulang ke rumah.
Seperti kemarin, kera kembali
mencaci maki sepuas-puasnya. Dengan tenang itik mendengarkan. Setelah kera puas
mengungkapkan keburukan dan kejelekannya, itik pun membalas, “Apakah engkau
merasa cantik? Berkacalah di muka air di tepian itu! Tubuhmu ditumbuhi
bulu-bulu kasar! Kepalamu seperti buah tandui (sejenis kuini/mempelam yang
tumbuh di hutan) dilumu (dimasukkan ke mulut sambil diambil sarinya hingga
tersisa biji dan ampasnya). Telapak tanganmu hitam kotor! Kuku-kukumu ….”
Belum selesai itik membalas
caciannya, kera itu segera memotong, “Lancang sekali mulutmu! Tentu ada
binatang lain yang memberi tahu kepada kamu!”
“Tentu saja, hai kera angkuh!
Tidak jauh dari sini seekor induk pipit membuat sarang. Dialah yang
mengajariku!”
“Kurang ajar! Aku akan datang ke
sarangnya!”
Itik bergegas pulang ke Tumahnya.
Dia memberitahu induk pipit tentang niat busuk kera sombong itu. “Alangkah
bodohnya engkau!” kata induk pipit dengan kesai. “Seharusnya tidak kau sebutkan
siapa yang mengajarimu! Rupamu bukan hanya jelek, tetapi engkau pun tolol!”
Belum sempat induk pipit
bersiap-siap mengungsi, kera sudah mendatangi sarangnya dan langsung
menerkamnya. Akan tetapi, dengan sigap induk pipit itu terbang. Sayang, anak
pipit tidak sempat dibawa untuk menyelamatkan diri.
Dengan kejengkelan luar biasa
kera memasukkan anak pipit itu ke dalam mulutnya. Sarang pipit diacak-acaknya.
Kemudian, dia duduk di atas pohon itu menanti induk pipit kembali ke sarang
untuk menjemput anaknya. Pada saat itulah, induk pipit akan diterkamnya.
Anak pipit sedih berada dalam
kegelapan karena kera selalu mengatupkan mulutnya. Kera takut anak pipit itu
terbang. Dalam keadaan itu, anak pipit mengeluh seorang diri. Setiap keluhannya
dijawab kera dengan gumaman.
“Apakah Ibuku sudah datang?”
“Mmm-mmm …!”
“Apakah Ibuku sudah mandi?”
“Mmrn-mmm …!”
“Apakah Bapak dan Ibu sudah tidur?”
“Ha-ha-ha-ha-ha …!”
Kera tidak dapat menahan geli. Dia tertawa mengakak hingga mulutnya terbuka lebar Anak pipit tidak melewatkan kesempatan baik itu. Dia terbang mencari induknya.
“Kurang ajar!” kera menyumpah sejadi-jadinya.
Dia merasa tertipu. Apalagi anak pipit itu meninggalkan sesuatu di dalam mulutnya. Di daun lidahnya ada kotoran anak pipit. Kera benar-benar merasa kalah. Bukan saja karena ditinggalkan anak-beranak itu, melainkan karena mendapat kotoran anak pipit.
Kera marah bukan main. Akal sehatnya hilang. Dia mencari sembilu yang tajam dan kotoran anak pipit itu bukan dikaisnya dengan sembilu, melainkan lidahnya yang dipotong. Darah pun tak henti-hentinya mengalir dari Iidahnya. Dia menggelepar-gelepar kesakitan, lalu jatuh dari dahan dan mati seketika. Tamatlah riwayat kera besar yang sombong itu.
“Apakah Ibuku sudah mandi?”
“Mmrn-mmm …!”
“Apakah Bapak dan Ibu sudah tidur?”
“Ha-ha-ha-ha-ha …!”
Kera tidak dapat menahan geli. Dia tertawa mengakak hingga mulutnya terbuka lebar Anak pipit tidak melewatkan kesempatan baik itu. Dia terbang mencari induknya.
“Kurang ajar!” kera menyumpah sejadi-jadinya.
Dia merasa tertipu. Apalagi anak pipit itu meninggalkan sesuatu di dalam mulutnya. Di daun lidahnya ada kotoran anak pipit. Kera benar-benar merasa kalah. Bukan saja karena ditinggalkan anak-beranak itu, melainkan karena mendapat kotoran anak pipit.
Kera marah bukan main. Akal sehatnya hilang. Dia mencari sembilu yang tajam dan kotoran anak pipit itu bukan dikaisnya dengan sembilu, melainkan lidahnya yang dipotong. Darah pun tak henti-hentinya mengalir dari Iidahnya. Dia menggelepar-gelepar kesakitan, lalu jatuh dari dahan dan mati seketika. Tamatlah riwayat kera besar yang sombong itu.
Rubah dan Buah Anggur
Seekor rubah
suatu hari melihat sekumpulan buah anggur yang ranum bergantungan dari pohon
anggur di sepanjang cabangnya. Buah anggur itu terlihat begitu ranum,
kelihatan sangat lezat dan berisi penuh, dan mulut sang Rubah menjadi terbuka
serta meneteskan air liur saat menatap buah anggur yang bergantungan.
Buah anggur itu
tergantung pada dahan yang cukup tinggi, dan sang Rubah harus melompat untuk
mencapainya. Saat pertama kali melompat untuk mengambil buah tersebut, sang
Rubah tidak dapat mencapainya karena buah itu tergantung cukup tinggi. Kemudian
sang Rubah mengambil ancang-ancang dan berlari sambil melompat, tetapi kali ini
sang Rubah masih juga tidak dapat mencapai buah anggur tersebut. Sang Rubah
mencoba untuk melompat terus, tetapi semua usaha yang dilakukannya sia-sia
belaka.
Sekarang dia
lalu duduk dan memandang buah anggur itu dengan rasa penasaran.
"Betapa
bodohnya saya," katanya. "Disini saya terus mencoba untuk mengambil
buah anggur yang kelihatannya tidak enak untuk dimakan."
Kemudian sang
Rubah lalu berjalan pergi dengan perasaan yang sangat kesal.
Banyak orang yang berpura-pura mengacuhkan dan
memperkecil arti sesuatu yang tidak dapat mereka capai.
ASAL MULA SI MASAM BELIMBING WULUH”
Pada zaman dahulu di sebuah desa yang bernama Si Manis
sangatlah terkenal dengan desa yang memiliki buah-buahan sangat manis. Desa
tersebut merupakan salah satu desa yang sangat subur dan sangatlah makmur.
Semua buah-buahan yang di tanam di daerah tersebut sangatlah manis. Jadi
masyarakat sekitar menyebutnya dengan desa Si Manis. Desa Si Manis begitu indah
dan makmur, setiap halaman rumah masayakat yang tinggaL di desa itu selalu ada
tanaman buah-buahan dan menjadi tradisi masyarakat setempat bahwa setiap orang
yang telah beranjak dewasa harus menanam salah satu jenis buah-buahan yang
menurutnya manis karena itu merupakan symbol bahwa setiap orang yang telah
menanam salah satu jenis tanaman buah-buahan dianggap telah melewati masa
kedewasaan dan bisa hidup mandiri. Sebab itu lah yang membuat desa tersebut
terdapat begitu banyak buah yang tumbuh.
Di tepi sungai desa manis terdapat sebuah gubuk yang
sangat mungil namun begitu indah karena hampir di setiap pojok halaman gubuk
tersebut tersusun rapi tanaman bunga-bunga yang sangat indah dan buah-buahan
yang sangat menggiurkan begitu banyak dan manis. Sebuah gubuk tua itu dihuni
oleh seorang gadis yang cantik jelita bersama neneknya. Wuluh adalah nama gadis
tersebut yang usianya telah melewati masa kedewasaan. Sejak masa kedewasaanya
telah tiba, sejak itu lah dia gemar menanam buah-buahan di halaman rumahnya.
Maka dari itu halaman rumah miliknya terdapat banyak sekali tanaman buah yang sangat
banyak. Setiap buah yang ia tanam selalu menghasilkan buah yang sangat manis
dan menggiurkan karena begitu besar dan manis buahnya. Wuluh begitu menyayangi
neneknya dan tanaman yang ia tanam, ia selalu merawat segala tanaman yang ia
tanam. Buah-buahan yang ia tanam diantaranya adalah rambutan, jambu,
bengkoang, papaya, semangka, dan belimbing yang merupakan buah kesukaanya dan
buah yang paling ia sayangi.
Wuluh begitu piawai merawat neneknya yang sedang
sakit, sejak kedua orang tuanya meninggal ia tinggal bersama neneknya, jadi ia
begitu menyayangi dan mengasihi nenek yang telah merawatnya. Pada suatu ketika
Wuluh sedang menyirami tanaman kesayangannya di halaman depan rumahnya,
tiba-tiba terdengar sesuatu jatuh yang bunyinya berasal dari dalam rumah. Seketika
itu pula Wuluh langsung bergegas masuk ke dalam rumah dan ia mendapati nenek
yang di sayanginya jatuh dan telah meninggal. Wuluh begitu sedih karena
satu-satunya orang yang paling ia sayangi telah tiada.
Kini Wuluh hanya tinggal sebatang kara, hanya tanaman
yang ia tanamanlah yang selalu menemaninya dan yang menjadi kesayanganya. Wuluh
begitu menyukai belimbing yang rasanya begitu manis dan segar, buah yang kecil
dan berwarna hijau. Hampir setiap hari ia selalu menikmati buah tersebut. Ia
menjual buah-buahan yang lain ke pasar namun tidak untuk buah belimbing
tersebut.
Suatu ketika tanaman yang ia tanam diserang oleh hama
yang menyebabkan tanaman miliknya membusuk dan lama-kelamaan mati. Namun hanya
satu yang tidak diserang oleh hama tersebut yaitu belimbing, hal itu
dikarenakan Wuluh selalu menjaga dan merawatnya agar tanaman itu tidak
terserang oleh hama tersebut. Kini hanya belimbing lah tanaman buah yang ia
miliki. Begitu sayangnya Wuluh terhadap buah tersebut membuat ia egan berbagi
kepada siapapun. Tidak ada seorang pun yang diperkenankan mendekati pohon
belimbing tersebut, karena ia takut ada yang mengambilnya. Hingga pada suatu
hari ada seorang pengemis yaitu seorang nenek-nenek yang sudah pikun
singgah di rumahnya.
“Cu boleh kah nenek ini singga sebentar untuk
istirahat di bawah pohon buah ini” tanya nenek tersebut kepada Wuluh
“Tidak ! ini milik ku tidak ada seorang pun yang boleh
mendekati tanaman ku ini, termasuk kamu nenek tua jelek, bau, pikun” bentak
Wuluh
“Hanya sebentar saja cu, nenek cuma mau istirahat”
pinta nenek tersebut karena ia sangat kelelahan
“Itu cuma alasan kamu saja kan nenek peot, kamu
sebenarnya menginginkan buah ini kan? Lantas kamu mau mencurinya kan? Kamu
ingin mengambil buah yang sangat manis milik ku ini kan?” tuduh Wuluh
“Tidak cu, nenek hanya…..”
Belum sempat nenek melanjutkan bicaranya Wuluh
mendorong nenek tersebut hingga terperosok ke lubang yang ada di dekat pohon
tersebut.
Wuluh begitu geram dan marah melihat nenek tersebut
yang tidak beranjak dari tanaman miliknya. Lantas Wuluh melemparnya dengan
belimbing yang telah busuk.
“Hanya buah busuk lah yang pantas untuk mu nenek tua
menjijikan” ucap Wuluh sambil tertawa sengit.
“Begitu jahat kah sifat mu nak, tak sebanding dengan
wajah paras mu yang sangat cantik dan lembut, tidak kah kamu mnyadarinya nak?”
ucap nenek sambil berusaha bangun
Wuluh semakin marah mendengar ucapan nenek tersebut.
“Pergi kamu nenek pikun” umpat Wuluh
“Ya Tuhan, sadarkanlah gadis ini bahwa perbuatannya
sangat tidak baik dan berikanlah hukuman yang pantas untuknya agar ia menyadari
semua perbuatanya yang tidak baik” ucap nenek tersebut
Ketika
nenek tersebut telah pergi jauh, Wuluh merasa senang karena nenek tersebut
tidak bisa mencuri buah miliknya.
Keesokan
harinya Wuluh bangun dan langsung menuju tanaman belimbing tersebut, dengan
senangnya ia memetik belimbing itu. Namun telah terjadi sesuatau yang aneh pada
tanamannya. Saat ia makan sebuah belimbing ia merasakan buah yang dulu manis
berubah menjadi masam. Wuluh langsung menangis sejadinya, karena buah
kesayangannya yang dulu manis telah berubah masam. Ia sangat sedih dan ia ingat
akan sesuatu hal yang di katakana oleh seorang nenek kemarin yang telah ia caci
maki dan ia tuduh mencuri.
Wuluh
sangat menyesal atas perbuatannya, namun semua telah terjadi dan tidak akan
kembali seperti awalnya. Kini buah yang dulunya manis telah berubah menjadi
masam. Dan belimbing tersebut diberi nama belimbing wuluh yang merupakan
tanaman si Wuluh seorang yang jahat. Hingga sekarang kita menyebutnya belimbing
wuluh yang kita ketahui memiliki rasa yang masam.
Kisah Cindelaras
Raden Putra,
Raja Jenggala, mempunyai dua orang istri. Keduanya adalah permaisuri dan selir.
Selain cantik wajahnya, Sang Permaisuri juga baik budi pekertinya. Sang Selir
juga sangat cantik wajahnya. Namun berbeda dengan permaisuri, sang selir buruk
kelakuannya.
Dia sangat iri dengan permaisuri. Dia merencanakan untuk menyingkirkan sang permaisuri dari istana kerajaan, agar perhatian dan kasih sayang Raden Putra semata-mata hanya untuknya.
Dia sangat iri dengan permaisuri. Dia merencanakan untuk menyingkirkan sang permaisuri dari istana kerajaan, agar perhatian dan kasih sayang Raden Putra semata-mata hanya untuknya.
Sang selir
bekerja sama dengan tabib istana untuk mewujudkan rencana jahatnya. Dia
berpura-pura sakit. Ketika Raden Putra bertanya kepada tabib istana perihal
penyebab sakitnya sang selir, tabib istana mengatakan bahwa sakit yang di
derita sang selir disebabkan oleh racun.” Racun itu dibubuhkan pada minuman
yang diberikan untuk Selir.” Kata Tabib istana.
“Siapa yang
tega memberikan minuman beracun untuk selir ku? Tanya Raden Putra.
“Permaisuri
Paduka sendirilah yang melakukannya.” Jawab sang Selir.” Tampaknya Permaisuri
iri hati pada hamba hingga bermaksud membunuh hamba, agar kasih sayang paduka
dan kekuasaan kerajaan jatuh ketangannya.”
Mendengar
hasutan dari Selir nya Raden Putra sangat murka. Tanpa berpikir panjang Raden
Putra mengusir sang permaisuri dari istana kerajaan, bahkan dia memerintahkan
patih kerajaan untuk membunuh permaisuri di hutan.
Sang
Permaisuri yang tengah mengandung itu terpaksa menerima perlakuan tidak adil
dan jahat yang ditimpakan kepadanya. Walaupun, dia sama sekali tidak melakukan
seluruh sangkaan yang ditimpakan kepadanya.
Patih
kerajaan Jenggala merupakan orang yang bijaksana, dia merasa jika sang
permaisuri tidak bersalah. Menurutnya, sang permaisuri yang baik hati tersebut
mustahil meracuni selir. Dia yakin jika sang permaisuri telah terkena fitnah
keji dari selir. Oleh karena itu dia tidak membunuhsang permaisuri melainkan
membuatkan gubuk ditengah hutan untuk permaisuri tinggal.
Patih
jenggala kemudian menangkap kelinci dan menyembelih kelinci itu dengan keris
pusaka miliknya, kemudian darah si kelinci dibasuhnya pada selendang milik
permaisuri. Katanya kepada sang permaisuri.” Hamba akan menghadap Raden Putra
dengan membawa selendang paduka serta keris yang berlumur darah ini. Selendang
dan keris ini akan hamba jadikan bukti bahwa hamba telah melaksanakan tugas
dari Raden Putra.”
“Terima
kasih, Paman Patih.” Ujar sang Permaisuri.
Sepeninggalan
Patih kerajaan Jenggala, Sang permaisuri hidup sendirian di dalam hutan
belantara. Seiring berjalannya waktu, kian membesar kandungannya. Dia pun
melahirkan sendirian didalam hutan belantara itu. Bayi yang lahir laki-laki dan
diberi nama Cindelaras.
Cindelaras
tumbuh menjadi anak lelaki yang kuat tubuhnya dan tampan wajahnya. Sejak kecil
ibunya yang memiliki pengetahuan tinggi karena merupakan permaisuri raja,
mengajarkannya tentang berbagai ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Selain itu
Cindelaras sejak kecil bergaul dengan aneka hewan yang berada di hutan
belantara tersebut. Hewan-hewan itu senang berada bersama dengan Cindelaras dan
mereka menuruti setiap perintah dari Cindelaras.
Pada suatu
hari ketika Cindelaras tengah bermain, seekor burung rajawali menjatuhkan
sebutir telur di dekat Cindelaras. Cindelaras lantas mengeramkan telur rajawali
itu pada ayam hutan betina yang menjadi sahabatnya. Tiga minggu kemudian telur
itu menetas menjadi ayam namun memiliki mata tajam dan perawakan yang kuat
seperti rajawali.
Cindelaras
merawat ayam itu dengan baik hingga menjadi ayam jago yang hebat dan kuat. Tubuh
ayam itu terlihat kuat lagi kekar, paruhnya kokoh dan runcing seperti paruh
burung rajawali. Kedua kakinya kekar berotot dan memiliki kuku yang runcing
tajam seperti kuku rajawali. Suara kokoknya terdengar aneh dan mengherankan.”
Kukuruyuk ... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah hutan belantara, atapnya
daun kelapa, ayahnya raden putra raja jenggala.”
Awalnya
Cindelaras sangat heran mendengar kokok ayam jantannya yang aneh. Dia lantas
bertanya kepada ibunya perihal kokok ayamnya yang unik. Permaisuri pun
menjelaskan siapa sebenarnya mereka. Cindelaras kini tahu bahwa dia merupakan
darah daging Raden Putra yang merupakan raja Jenggala. Dia juga tahu penyebab
ibu dan dirinya diusir dari istana raja. Dalam hatinya muncul niat Cindelaras
untuk membuka keburukan selir yang merupakan ibu tirinya.
Dengan izin
dan restu ibunya Cindelaras berangkat menuju istana kerajaan Jenggala. Ayam
jago kesayangannya dibawanya pula. Dalam perjalanannya, Cinderalas bertemu
dengan orang-orang yang sedang mengadu ayam atau lebih dikenal dengan sabung
ayam. Ketika mereka melihat Cindelaras membawa ayam jago, mereka pun menantang
untuk mengadu.
“Aku tidak
mempunyai taruhan.” Ucap Cindelaras.
“Taruhanmu
adalah dirimu,” jawab salah seorang penyabung.” Jika ayam jagomu kalah engkau
harus bekerja dan mengabdi kepadaku tanpa mendapatkan upah. Sedangkan jika
jagomu menang maka aku akan memberikan uang emas ini untukmu.” Si penyabung
mengacungkan kantong kain yang berisi uang emas.
Cindelaras
awalnya ragu namun ayam jagonya terus meronta-ronta seperti memintanya untuk
menerima tantangan itu. Cindelaras akhirnya setuju.
Kedua ayam
jago lantas di adu. Hanya dalam beberapa gebrakan saja ayam jago Cindelaras
telah dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Ayam-ayam jago lainnya yang diadu
dengan ayam jago milik Cindelaras pun bertumbangan. Rata-rata mereka hanya
sanggup beberapa gebrakan saja sebelum akhirnya terkeok-keok melarikan diri.
Cindelaras
sangat banyak mendapatkan uang dan juga perhiasan karena kemenangan ayam
jagonya itu. Para penyabung ayam benar-benar terperangah mendapati keperkasaan
ayam jago Cindelaras. Berita perihal kehebatan ayam jago Cindelaras pun segera
menyebar. Banyak penyabung dari berbagai daerah menemui Cindelaras untuk
mengadu ayam. Namun ayam jago Cindelaras benar-benar luar biasa, semua bisa
dikalahkan dalam beberapa gebrakan pertarungan saja.
“Tampaknya hanya ayam jago milik Gusti Prabu
Raden Putra saja yang dapat menandingi ayam jago milik anak ini.” Kata salah
seorang penyabung.” Sama halnya dengan ayam jago milik anak ini, ayam jago
milik gusti prabupun tidak pernah terkalahkan. Pertarungan kedua ayam ini pasti
sangat seru.”
Raden Putra
akhirnya mendengar kehebatan ayam jago milik Cindelaras. Sang raja sangat
penasaran dengan berita yang akhir-akhir ini didengarnya. Dia benar-benar ingin
mencoba mengadukan ayam jago miliknya dengan ayam jago milik Cindelaras yang
konon katanya tidak pernah terkalahkan. Untuk mewujudkan keinginannya itu, dia
meminta prajurit istana mencari dan memanggil Cindelaras.
Cindelaras
datang dan langsung menghadap Raden Putra. Meski dia mengetahui sosok
dihadapannya adalah ayah kandungnya, namun Cindelaras bersikap seperti rakyat
biasa menghadap Raja. Dia duduk bersila setelah menghaturkan sembah. Ayam
jagonya ikut bersila disampingnya. Sangat mengherankan, selama Cindelaras
menghadap Prabu Raden Putra, ayam jago itu tidak berkokok sedikitpun.
“ Namamu
Cindelaras?” Tanya Prabu Raden Putra.
“ Benar,
gusti prabu.”
“ Kudengar
engkau memiliki ayam jago yang hebat. Apakah engkau berani mengadu ayam jagomu
dengan ayam jago milikku?”
“Hamba siap,
Gusti Prabu.”
“ Apa
taruhanmu?”
Cindelaras
sejenak berpikir sebelum akhirnya memberikan jawabannya.” Hamba hanya memiliki
selembar nyawa. Jika ayam jago hamba kalah, maka hamba serahkan nyawa hamba
kepada Gusti Prabu. Namun jika ayam jago hamba menang, maka hamba meminta
separuh dari kerajaan Jenggala.”
“ Baik.”
Raden Putra menyatakan kesediannya.” Bersiap-siaplah untuk menyerahkan nyawamu.
Lehermu akan dipenggal algojo kerajaan setelah ayam jagomu kalah.”
Alun-alun istana
segera disiapkan untuk menjadi arena pertarungan dua jago milik Cindelaras dan
Raden Putra. Berduyun-duyun orang datang ke alun-alun untuk menyaksikan
peristiwa yang sangat langka itu. Beberapa petaruh juga turut meramaikan acara
itu, sebagian menjagokan ayam milik Cindelaras dan sebagian lagi menjagokan
ayam milik Raden Putra.
Ketika telah
dihadapkan, jago milik Cindelaras kalah besar dan kalah kekar jika dibandingkan
dengan jago milik Raden Putra. Namun jago Cindelaras tidak menunjukan
ketakutannya, bahkan sepertinya sudah tidak sabar ingin bertarung. Maka dengan
iringan sorak sorai penonton, kedua ayam jago itupun memulai pertarungannya.
Semangat
bertarung ayam jago Cindelaras sangat besar. Tendangan kaki dan patukan
paruhnya begitu kuat bertenaga hingga ayam jago milik Raden Putra terlihat
kewalahan. Ayam jago milik Cindelaras juga sangat cerdik lagi piawai dalam
menghindari serangan-serangan dari ayam jago milik Raden Putra. Pertarungan
berlangsung cukup lama, namun semakin lama terlihat bahwa ayam jago milik
Cindelaras makin menguasai keadaan. Beberapa saat kemudian ayam jago milik
Raden Putra tidak mampu lagi menahan serangan-serangan dari ayam jago
Cindelaras. Dia berkeok-keok melarikan diri dari arena pertarungan tanda
menyerah kalah. Sebagian penonton yang menjagokan ayam jago Cindelaras bersorak
sorai gembira.
Raden Putra
sangat terkejut melihat ayam jago kesayangannya terseok-seok kabur dari medan
pertarungan. Janji taruhan yaitu membagi separuh wilayah kekuasaannya untuk
Cindelaras dipenuhinya.
Setelah
pertarungan selesai dan Raden Putra berkata bahwa sebagian wilayah kerajaan
Jenggala kini milik Cindelaras, tiba-tiba ayam jago milik Cindelaras berkokok
keras..” Kukuruyuk ... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah hutan belantara,
atapnya daun kelapa, ayahnya raden putra raja jenggala.”
Raden Putra
sangat terkejut mendengar kokok ayam Cindelaras yang aneh. Diperhatikannya
baik-baik Cindelaras yang tetap berdiri dengan sikap hormat dan gagah.”
Cindelaras benarkah apa yang dikatakan ayam jagomu itu.” Tanya Raden Putra.
“ Benar
gusti prabu. Hamba adalah putra gusti prabu, ibu hamba adalah permaisuri gusti
prabu yang saat ini tinggal di hutan.”
Raden Putra
terlihat bingung. Menurutnya permaisurinya telah meninggal dunia ditangan patih
yang mengamban titahnya. Melihat rajanya terlihat bingung, patih jenggala
segera maju kedepan menghampiri sang raja. Patih Jenggala kemudian menjelaskan
perihal kejadian yang sesungguhnya, bagaimana dia tidak jadi membunuh sang
permaisuri karena mengetahui bahwa permaisuri tidak bersalah melainkan korban
fitnah dari orang lain.
“ Fitnah?
Fintah siapa?” Tanya sang Raja.
“ Fitnah
dari selir sri baginda yang bekerjasama dengan tabib istana.” Jawab Patih
Jenggala.
Sang Selir
dan Tabib istana segera dipanggil oleh Raja Raden Putra. Keduanya tidak dapat
mengelak setelah persidangan memberikan bukti-bukti kejahatan mereka. Sang
Raden Putra memberi hukuman berat kepada keduanya yaitu di asingkan didalam
hutan.
Akhirnya
kebenaran terungkap. Sang Raja Raden Putra langsung memeluk Cindelaras seraya
meminta maaf. Raja Jenggala itu segera memerintahkan para pengawalnya untuk
menjemput permaisuri.
Sang
Permaisuri kembali ke istana dengan segala kehormatannya. Dia hidup bahagia
bersama suami dan anaknya Cindelaras.
No comments:
Post a Comment