CERPEN
BIARKAN
AKU YANG PERGI
Karya
Dinda Pelangi
Malam yang sejuk mengiringi kesepianku. Angin malam turut
membelai lembut rambutku. Menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya bumi.
Sebagai teman paling setia dikesendirianku dalam ketidakadilan ini.
“Oh Tuhan, kapan semuanya akan berubah?” tanyaku dalam pengharapan.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.
“pasti bi Imah.” Tebakku
“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.
“Maaf non, waktunya makan malam. Yang lain sudah ngumpul dibawah.” Ucap Bi Imah saat pintu kamarku terbuka.
“ok bi Dera juga udah lapeer banget.” Candaku padanya.
Bi Imah adalah seseorang yang merawatku sejak lahir. Bagiku, ia sudah seperti Ibu kandungku. Dirumahku, hanya Bi Imah yang peduli dengan keadaanku. Disaat aku sakit, hanya ia yang selalu repot menyiapkan obat, hanya ia yang selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nilai raportku jauh dari nilai kak Dara. Hanya ia yang tahu betapa aku ingin seperti kak Dara, saudara kembarku.
****
“Oh Tuhan, kapan semuanya akan berubah?” tanyaku dalam pengharapan.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.
“pasti bi Imah.” Tebakku
“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.
“Maaf non, waktunya makan malam. Yang lain sudah ngumpul dibawah.” Ucap Bi Imah saat pintu kamarku terbuka.
“ok bi Dera juga udah lapeer banget.” Candaku padanya.
Bi Imah adalah seseorang yang merawatku sejak lahir. Bagiku, ia sudah seperti Ibu kandungku. Dirumahku, hanya Bi Imah yang peduli dengan keadaanku. Disaat aku sakit, hanya ia yang selalu repot menyiapkan obat, hanya ia yang selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nilai raportku jauh dari nilai kak Dara. Hanya ia yang tahu betapa aku ingin seperti kak Dara, saudara kembarku.
****
“wah ada ayam bakar nih. Heem
maknyus” ucapku seraya menduduki kursi favoritku.
“dasar gak sopan…” sindir Ayah padaku.
“makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek.” Timpal kakakku, Virgo.
“iya Dera, kamu duduk dulu baru ngomong, kan ada Papa sama Mama disini. Jadi sopan dikit Ra.” Tambah Kak Dara.
“iya Dera, betul tuh kata Dara. Contoh dia.” Tambah Ibu lagi.
“ok, aku pergi. Silahkan makan!!” ucapku dengan sinis.
Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa sedikitpun menyentuh makanan disana. Padahal sebenarnya maagku kambuh dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang aku sayangi.
****
Matahari menjelma masuk kedalam kamarku yang pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku terbangun karena silaunya sinar yang menerpa mataku.
“humh, udah pagi to” ucapku pada diri sendiri,
Aku bergegas mandi dan memakai pakaian sekolahku. Dengan aksesoris biru yang lengkap. Pagi ini, aku tak ingin sarapan. Aku hanya mengunjungi Bi Imah yang ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.
“makasih ya Bi, Dera sayang Bibi.” Ucapku dengan tulus padanya
“iya non, Bibi juga sayangg banget sama non Dera, semangat ya Non sekolahnya.” Sahut bi Imah menyemangati.
Setibanya disekolah, aku segera menuju ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah matematika dan bahasa inggris. Pelajaran menghitung yang sangat menyebalkan untukku. Karena aku tak seperti kak Dara yang jago menghitung. Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun. Hingga kertas ulanganku hampir tak terisi. Namun kalau bahasa inggris, inilah kehebatanku. Semua soal dapat kukerjakan dengan mudah. Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat berbahasa inggris. Seperti Om Frans dan Tante Siska yang semasa di Jakarta sangat menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah pindah ke Amerika dengan anaknya, Dimas.
****
Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Dera berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar. Kalau kak Dara sengaja Papa sekolahkah di sekolah terfavorit di Jakarta, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami. Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Dara dan Kak Virgo. Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.
“Pa, ambilin raport Dera ya.” Pintaku
“Papa sudah janji sama Dara kalau Papa yang akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Ayahku.
“Ma, ambilin raport Dera ya!” pintaku lagi pada Mama.
“Mama udah janji sama Virgo ngambilib raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus diwakilin.” Jawab Mama.
“oh gitu ya.” Balasku dengan kecewa.
Aku hanya bisa menangis sendirian didalam kamar. Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah Bi Imah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.
“Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran
“Non Dera juara 1 non.” Ucap bi Imah dengan semangat.
“hah? Beneran bi?” sahutku tak kalah semangat.
Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Dara.
****
Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Dara dan kak Virgo menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Imah.
“gimana hasilnya Ra?, pasti jelek.” Ucap kak Virgo menyindirku.
“gak ko, aku juara 1.” Ucapku dengan semangat.
“ah, juara 1 disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Dara.” Ledek Ayah padaku.
Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali Bi Imah yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang biasanya.
“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku
Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga Om Frans sudah tiba di Jakarta untuk berlibur bersama keluarga kami.
“Dimas? Aku merindukanmu.” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.
Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, bi Imah pulang kekampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam dihotel. Dan aku? Tertinggal disini.
****
Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai srikaya kemulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan topic kak Dara dan Dimas. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga Om Frans dan Tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit menuju taman belakang yang ternyata disana ada kak Dara dan seseorang yang sangat aku sayangi, kak Dimas. Disana, aku sedang melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Dara. Ternyata mereka sudah jadian dan aku tahu, bahwa kak Dimas telah melupakanku.
****
Akhirnya, hari yang telah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Dara, olimoiade sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Dera yang hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan karate nasional yang diadakan di Jakarta.
“kita panggil, juara nasional karate tahun ini. Alderaya Zivanna dari Jakarta.” Panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.
****
Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Dara malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“kamu sengaja meledek Dara?” Tanya Papa dengan sinis.
“gak pa! maksud Papa apa sih?” tanyaku tak mengerti.
“Dara kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Dara yang boleh menempatinya.” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa.
“Lepas Fotomu!” ucap Mama dengan agak ketus padaku.
Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Dara dipuji dan disanjung oleh papa dan mama, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,
“apakah aku anak kandungmu Ma? Pa?”
Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
****
Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Dara menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah diolimpiade. Yang kutahu, saudara kembarku ini terlihat lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangati.
“udahlah Ra, kamu senang kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang kan ngeliat aku kalah?” jawabnya dengan menangis.
“gak ka, gak. Aku gak pernah ada niatan kaya gitu.” Sahutku.
“udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak Dara. Kak Dara pingsan Pa!” beritahuku
“apa? Kamu apain sih dia?” Tanya Papa sinis padaku.
“aku, aku gak ada ngapa-ngapain dia pa.” sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.
“pasti penyakitnya kambuh lagi pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
****
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku dengan kak Dara. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
“hanya saudara kembarnya yang ginjalnya cocok dengan Dara. Jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan pencangkokan ginjal Pak” beritahu dokter pada Papa.
Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi kak Dara. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku pada kak Dara, tapi aku tak ingin ada yang tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada saudaraku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.
“ah sudahlah Dera, kamu memang saudara yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Dara.” Ucap Papa
“aku kecewa sama kamu Dera, tega ya kamu sama kakak kamu sendiri.” Ucap Dimas dengan kecewa padaku.
“siapa yang mendonorkan ginjalnya Pa?” Tanya kak Virgo.
“entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Dara. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab papa.
“andaikan kalian tahu kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam hati.
****
Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangat lelah dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai ku tulis, surat itu kutitipkan pada Bi Imah. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.
@ ruang operasi
Ruang ini tersasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Dara dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
****
Seminggu kemudian. . . .
“akhirnya kamu sembuh juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.
“Dan Happy Brithday Dara…” ucap semua orang serentak
“Makasih ya semuanya. Aku senanggg banget. Oya, Dera mana ya Ma? Gak tau kenapa Dara kepikiran dia terus. Hari ini kan ulang tahun kami” Sahut Dara.
“iya ya? Mana dia Bi?” Tanya Ibunya pada Bi Imah
“Sebentar nyonya.” Jawab Bi Imah dengan berlari menuju kamar Dara.
Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“ini surat dari Non Dera sebelum pergi.” Beritahu Bi Imah.
Walau agak heran, Ibunya pun membacanya dengan agak keras.
Untuk semua orang yang sangaaat Dera sayang
Mungkin saat kalian baca surat ini Dera gak ada lagi disini. Dera udah pergi ketempat yang saangaat jaauh. Oya, gimana kabar kak Dara? Gak sakit lagi kan? Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud.
Teruntuk PAPA yang SANGAT KURINDUKAN
Gimana Pa? rumah kita udah tenang belum? Gak ada yang gak sopan lagi kan? Oh pasti gak ada dong ya? Ya iyalah, Dera si pembuat onar kan udah gak ada.
Teruntuk MAMA yang SANGAT-SANGAT KU RINDUKAN
Ma, Dera pasti akan sangat rindu dengan teddy bear pemberian Mama lima tahun yang lalu. Ma, Dera kangeeen banget pelukan Mama. Dera selalu iri saat Mama hanya mencium kak Dara disaat ia tidur. Dera iri melihat Mama yang selalu menyemangati kak Dara disaat ia sedang sedih. Dera iri dengan semua perhatian yang Mama berikan pada kak Virgo dan kak Dara. Dera sangaat iri.
Teruntuk KAK VIRGO dan saudara kembarku, DARA
Gimana kak, gak ada lagi kan yang ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kan yang nyetel music keras-keras dikamar? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi yang akan membuat kalian malu karena punya saudara yang bodoh bukan? Oh, pastinya. Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YANG KE-17 TAHUN. Yang mungkin takkan pernah aku rasakan.
“dasar gak sopan…” sindir Ayah padaku.
“makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek.” Timpal kakakku, Virgo.
“iya Dera, kamu duduk dulu baru ngomong, kan ada Papa sama Mama disini. Jadi sopan dikit Ra.” Tambah Kak Dara.
“iya Dera, betul tuh kata Dara. Contoh dia.” Tambah Ibu lagi.
“ok, aku pergi. Silahkan makan!!” ucapku dengan sinis.
Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa sedikitpun menyentuh makanan disana. Padahal sebenarnya maagku kambuh dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang aku sayangi.
****
Matahari menjelma masuk kedalam kamarku yang pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku terbangun karena silaunya sinar yang menerpa mataku.
“humh, udah pagi to” ucapku pada diri sendiri,
Aku bergegas mandi dan memakai pakaian sekolahku. Dengan aksesoris biru yang lengkap. Pagi ini, aku tak ingin sarapan. Aku hanya mengunjungi Bi Imah yang ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.
“makasih ya Bi, Dera sayang Bibi.” Ucapku dengan tulus padanya
“iya non, Bibi juga sayangg banget sama non Dera, semangat ya Non sekolahnya.” Sahut bi Imah menyemangati.
Setibanya disekolah, aku segera menuju ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah matematika dan bahasa inggris. Pelajaran menghitung yang sangat menyebalkan untukku. Karena aku tak seperti kak Dara yang jago menghitung. Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun. Hingga kertas ulanganku hampir tak terisi. Namun kalau bahasa inggris, inilah kehebatanku. Semua soal dapat kukerjakan dengan mudah. Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat berbahasa inggris. Seperti Om Frans dan Tante Siska yang semasa di Jakarta sangat menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah pindah ke Amerika dengan anaknya, Dimas.
****
Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Dera berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar. Kalau kak Dara sengaja Papa sekolahkah di sekolah terfavorit di Jakarta, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami. Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Dara dan Kak Virgo. Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.
“Pa, ambilin raport Dera ya.” Pintaku
“Papa sudah janji sama Dara kalau Papa yang akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Ayahku.
“Ma, ambilin raport Dera ya!” pintaku lagi pada Mama.
“Mama udah janji sama Virgo ngambilib raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus diwakilin.” Jawab Mama.
“oh gitu ya.” Balasku dengan kecewa.
Aku hanya bisa menangis sendirian didalam kamar. Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah Bi Imah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.
“Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran
“Non Dera juara 1 non.” Ucap bi Imah dengan semangat.
“hah? Beneran bi?” sahutku tak kalah semangat.
Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Dara.
****
Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Dara dan kak Virgo menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Imah.
“gimana hasilnya Ra?, pasti jelek.” Ucap kak Virgo menyindirku.
“gak ko, aku juara 1.” Ucapku dengan semangat.
“ah, juara 1 disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Dara.” Ledek Ayah padaku.
Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali Bi Imah yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang biasanya.
“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku
Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga Om Frans sudah tiba di Jakarta untuk berlibur bersama keluarga kami.
“Dimas? Aku merindukanmu.” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.
Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, bi Imah pulang kekampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam dihotel. Dan aku? Tertinggal disini.
****
Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai srikaya kemulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan topic kak Dara dan Dimas. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga Om Frans dan Tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit menuju taman belakang yang ternyata disana ada kak Dara dan seseorang yang sangat aku sayangi, kak Dimas. Disana, aku sedang melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Dara. Ternyata mereka sudah jadian dan aku tahu, bahwa kak Dimas telah melupakanku.
****
Akhirnya, hari yang telah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Dara, olimoiade sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Dera yang hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan karate nasional yang diadakan di Jakarta.
“kita panggil, juara nasional karate tahun ini. Alderaya Zivanna dari Jakarta.” Panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.
****
Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Dara malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“kamu sengaja meledek Dara?” Tanya Papa dengan sinis.
“gak pa! maksud Papa apa sih?” tanyaku tak mengerti.
“Dara kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Dara yang boleh menempatinya.” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa.
“Lepas Fotomu!” ucap Mama dengan agak ketus padaku.
Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Dara dipuji dan disanjung oleh papa dan mama, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,
“apakah aku anak kandungmu Ma? Pa?”
Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
****
Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Dara menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah diolimpiade. Yang kutahu, saudara kembarku ini terlihat lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangati.
“udahlah Ra, kamu senang kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang kan ngeliat aku kalah?” jawabnya dengan menangis.
“gak ka, gak. Aku gak pernah ada niatan kaya gitu.” Sahutku.
“udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak Dara. Kak Dara pingsan Pa!” beritahuku
“apa? Kamu apain sih dia?” Tanya Papa sinis padaku.
“aku, aku gak ada ngapa-ngapain dia pa.” sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.
“pasti penyakitnya kambuh lagi pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
****
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku dengan kak Dara. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
“hanya saudara kembarnya yang ginjalnya cocok dengan Dara. Jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan pencangkokan ginjal Pak” beritahu dokter pada Papa.
Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi kak Dara. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku pada kak Dara, tapi aku tak ingin ada yang tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada saudaraku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.
“ah sudahlah Dera, kamu memang saudara yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Dara.” Ucap Papa
“aku kecewa sama kamu Dera, tega ya kamu sama kakak kamu sendiri.” Ucap Dimas dengan kecewa padaku.
“siapa yang mendonorkan ginjalnya Pa?” Tanya kak Virgo.
“entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Dara. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab papa.
“andaikan kalian tahu kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam hati.
****
Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangat lelah dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai ku tulis, surat itu kutitipkan pada Bi Imah. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.
@ ruang operasi
Ruang ini tersasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Dara dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
****
Seminggu kemudian. . . .
“akhirnya kamu sembuh juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.
“Dan Happy Brithday Dara…” ucap semua orang serentak
“Makasih ya semuanya. Aku senanggg banget. Oya, Dera mana ya Ma? Gak tau kenapa Dara kepikiran dia terus. Hari ini kan ulang tahun kami” Sahut Dara.
“iya ya? Mana dia Bi?” Tanya Ibunya pada Bi Imah
“Sebentar nyonya.” Jawab Bi Imah dengan berlari menuju kamar Dara.
Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“ini surat dari Non Dera sebelum pergi.” Beritahu Bi Imah.
Walau agak heran, Ibunya pun membacanya dengan agak keras.
Untuk semua orang yang sangaaat Dera sayang
Mungkin saat kalian baca surat ini Dera gak ada lagi disini. Dera udah pergi ketempat yang saangaat jaauh. Oya, gimana kabar kak Dara? Gak sakit lagi kan? Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud.
Teruntuk PAPA yang SANGAT KURINDUKAN
Gimana Pa? rumah kita udah tenang belum? Gak ada yang gak sopan lagi kan? Oh pasti gak ada dong ya? Ya iyalah, Dera si pembuat onar kan udah gak ada.
Teruntuk MAMA yang SANGAT-SANGAT KU RINDUKAN
Ma, Dera pasti akan sangat rindu dengan teddy bear pemberian Mama lima tahun yang lalu. Ma, Dera kangeeen banget pelukan Mama. Dera selalu iri saat Mama hanya mencium kak Dara disaat ia tidur. Dera iri melihat Mama yang selalu menyemangati kak Dara disaat ia sedang sedih. Dera iri dengan semua perhatian yang Mama berikan pada kak Virgo dan kak Dara. Dera sangaat iri.
Teruntuk KAK VIRGO dan saudara kembarku, DARA
Gimana kak, gak ada lagi kan yang ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kan yang nyetel music keras-keras dikamar? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi yang akan membuat kalian malu karena punya saudara yang bodoh bukan? Oh, pastinya. Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YANG KE-17 TAHUN. Yang mungkin takkan pernah aku rasakan.
Kalian semua harus tau, betapa AKU SANGAT MENYAYANGI KALIAN. Mungkin dengan kepergianku, smeuanya akan tenang dan rumah kita menjadi tentram. Dera harap, gak aka ada lagi yang terkucilkan seperti Dera. Yang selalu menangis setiap malam. Yang selalu merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti akuyang selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan. . . Semoga KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA DERA, AAMIIN.
Salam rindu penuh tangis bahagia
Alderaya Zivanna
Semua yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Imah dimana Dera. Namun tiba-tiba telepon rumah berbunyi..
“iya, saya Hermawan, ada apa ya?” Tanya Papanya dengan penasaran.
Dan sesaat kemudian Papanya menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah sakit. Dan mereka terlambat, Dera telah pergi untuk selama-lamanya. Dan menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, ia telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya. . .
The End
Maaf
dan Terimakasih - Cerpen Persahabatan Sedih
Karya Nita
"Hmm," terllihat
seorang perempuan menggeliat di atas ranjangnya. Ia merubah posisinya menjadi
duduk. Ia menghela napas panjang dan memandang jendela besar di sebelah kiri
ranjangnya. Gelap. Hanya ada bintang dan bulan yang menghiasi malam kelamnya.
Terdengar suara air yang bersentuhan dengan tanah secara teratur. Melodi yang
damai dan menenangkan. Ia melirik jam digital yang terdapat di sebelahnya.
"Haah, aku bangun tengah malam lagi," gumamnya setelah melihat jam
yang menunjukan pukul 02.36. Sudah menjadi kebiasaannya beberapa hari terakhir
untuk bangun larut malam. Ia tidak mempermasalahkannya lagi dan mulai berjalan
kearah jendela untuk duduk disana. Menyingkirkan tirainya dan membukanya.
Memandang hujan yang turun dengan derasnya. Juga semilir angin yang menghantam
wajahnya.
Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menikmati keseluruhannya. Memori-memori itu terlintas dibenaknya lagi. Musik. Senyumannya. Kejadian yang dramatis dibawah hujan yang lebat. Dimana semua orang lebih memilih untuk berlindung daripada melawan dinginnya angin. Air mata yang menyatu dengan air hujan. Mengalir dan terjatuh di tanah. Janji yang terucap yang bahkan ia tak tahu bagaimana melaksanakannya.
***
9 tahun lalu...
Terlihat dua orang anak gadis yang sedang memakan makan siangnya di bawah pohon besar. Mereka asyik bercengkrama dan sesekali tertawa. Senyum selalu menghiasi wajah kedua gadis itu. Pohon besar itu adalah saksi bisu keakraban mereka. BUKK!! Sebuah bola menghantam salah satu dari gadis itu.
"Terra, kamu gak apa-apakan? Siapa yang nendang bola ini?!" teriak gadis berambut panjang. "Aku gak apa-apa kok, Sher. Santai aja. Paling mereka gak sengaja." jawab orang yang bernama Terra dengan senyum. "Iya. Makanya kalo main bola hati-hati dong!" Shera memberikan tatapan tajam kepada sekelompok anak laki-laki itu sebelum melempar bolanya kearah mereka. Shera kembali duduk disamping Terra. Bekal mereka telah habis, namun mereka masih ingin duduk dibawah pohon itu.
"Mm, Ter, kamu mau jadi apa kalo kamu sudah besar nanti?" tanya Shera. Matanya memandang langit yang berawan seakan-akan membayangkan apa yang akan ia lakukan ketika ia sudah dewasa.
"Entahlah," jawab Terra yang juga sedang memandang langit. "Dulu aku pernah bermimpi akan menjadi penyanyi karena aku suka sekali bernyanyi." lanjut Terra. "Kamu bisa bernyanyi? Coba dong, kamu nyanyi! Aku belum pernah dengar!" Kata Shera antusias sambil menatap Terra.
"Eh? Aku..aku hanya suka bernyanyi. Bukan berarti suaraku bagus." Shera menyerngitkan alisnya. "Tak apa! Aku hanya ingin dengar! Aku tidak akan mentertawakanmu! Aku juga ingin menjadi violinist terkenal! Nanti kalau sudah besar, kita berduet ya!" ajak Shera bersemangat. Terra tersenyum dan mengangguk kecil. "Janji?" Tanya Shera sambil menunjukan kelingkingnya. "Iya. Aku...janji," balas Terra sambil mengaitkan kelingking mereka.
***
Ia merasakan pundaknya di goyangkan oleh seseorang dan terdengar samar-samar suara orang tersebut. "-Ra, ayo bangun. Hari sudah siang, nih! Ter.., Terra," Terra menyerngitkan dahinya dan perlahan membuka kelopak matanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan mulai berdiri dari tempat duduknya. "Mm, Raysha. Jam berapa sekarang?" tanya Terra. "Jam 7! Sana mandi, terus kita langsung ke Festival Paskah Beethoven." ujar Raysha sambil menyenggol pundak Terra lagi. "Iya..iya," Terra berjalan pelan menuju kamar mandi.
Setelah mengenakan pakaian yang menurutnya cukup pantas, ia berjalan keluar menemui Raysha yang sedang sarapan. "Wah, kamu cukup cantik mengenakan pakaian itu," puji Raysha yang tak ditanggap oleh Terra. Mereka melanjutkan sarapan dengan keheningan dan beberapa perkataan dari Raysha. "Ayo," ajak Terra yang diikuti Raysha.
Tak lama setelah mereka sampai di Istana Kerajaan dan Balai Konser Philharmonic, Festival Paskah Beethoven dimulai. Terdengar lagu-lagu klasik terkenal yang dimainkan oleh 30 musisi dari berbagai belahan dunia.
"Ah, Sorry," ucap Raysha ketika tak sengaja menyenggol orang disana. "Never mind," balas orang itu. "Ray, ada a..pa?" ucapan Terra terhenti ketika ia melihat siapa yang berada di dekat Raysha saat ini. "Oh, Terra. Tadi aku gak sengaja nyenggol orang ini." Perkataan Rayshapun diacuhkannya.
9 tahun lalu...
Terlihat dua orang anak gadis yang sedang memakan makan siangnya di bawah pohon besar. Mereka asyik bercengkrama dan sesekali tertawa. Senyum selalu menghiasi wajah kedua gadis itu. Pohon besar itu adalah saksi bisu keakraban mereka. BUKK!! Sebuah bola menghantam salah satu dari gadis itu.
"Terra, kamu gak apa-apakan? Siapa yang nendang bola ini?!" teriak gadis berambut panjang. "Aku gak apa-apa kok, Sher. Santai aja. Paling mereka gak sengaja." jawab orang yang bernama Terra dengan senyum. "Iya. Makanya kalo main bola hati-hati dong!" Shera memberikan tatapan tajam kepada sekelompok anak laki-laki itu sebelum melempar bolanya kearah mereka. Shera kembali duduk disamping Terra. Bekal mereka telah habis, namun mereka masih ingin duduk dibawah pohon itu.
"Mm, Ter, kamu mau jadi apa kalo kamu sudah besar nanti?" tanya Shera. Matanya memandang langit yang berawan seakan-akan membayangkan apa yang akan ia lakukan ketika ia sudah dewasa.
"Entahlah," jawab Terra yang juga sedang memandang langit. "Dulu aku pernah bermimpi akan menjadi penyanyi karena aku suka sekali bernyanyi." lanjut Terra. "Kamu bisa bernyanyi? Coba dong, kamu nyanyi! Aku belum pernah dengar!" Kata Shera antusias sambil menatap Terra.
"Eh? Aku..aku hanya suka bernyanyi. Bukan berarti suaraku bagus." Shera menyerngitkan alisnya. "Tak apa! Aku hanya ingin dengar! Aku tidak akan mentertawakanmu! Aku juga ingin menjadi violinist terkenal! Nanti kalau sudah besar, kita berduet ya!" ajak Shera bersemangat. Terra tersenyum dan mengangguk kecil. "Janji?" Tanya Shera sambil menunjukan kelingkingnya. "Iya. Aku...janji," balas Terra sambil mengaitkan kelingking mereka.
***
Ia merasakan pundaknya di goyangkan oleh seseorang dan terdengar samar-samar suara orang tersebut. "-Ra, ayo bangun. Hari sudah siang, nih! Ter.., Terra," Terra menyerngitkan dahinya dan perlahan membuka kelopak matanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan mulai berdiri dari tempat duduknya. "Mm, Raysha. Jam berapa sekarang?" tanya Terra. "Jam 7! Sana mandi, terus kita langsung ke Festival Paskah Beethoven." ujar Raysha sambil menyenggol pundak Terra lagi. "Iya..iya," Terra berjalan pelan menuju kamar mandi.
Setelah mengenakan pakaian yang menurutnya cukup pantas, ia berjalan keluar menemui Raysha yang sedang sarapan. "Wah, kamu cukup cantik mengenakan pakaian itu," puji Raysha yang tak ditanggap oleh Terra. Mereka melanjutkan sarapan dengan keheningan dan beberapa perkataan dari Raysha. "Ayo," ajak Terra yang diikuti Raysha.
Tak lama setelah mereka sampai di Istana Kerajaan dan Balai Konser Philharmonic, Festival Paskah Beethoven dimulai. Terdengar lagu-lagu klasik terkenal yang dimainkan oleh 30 musisi dari berbagai belahan dunia.
"Ah, Sorry," ucap Raysha ketika tak sengaja menyenggol orang disana. "Never mind," balas orang itu. "Ray, ada a..pa?" ucapan Terra terhenti ketika ia melihat siapa yang berada di dekat Raysha saat ini. "Oh, Terra. Tadi aku gak sengaja nyenggol orang ini." Perkataan Rayshapun diacuhkannya.
Mata Terra terbelalak lebar. "Shera?" tanya Terra pelan. Orang yang disebut sebagai Shera menyerngitkan alisnya pertanda dia bingung dan heran. "Kamu berasal dari Indonesia?" Tanya orang itu senang. Senyum muncul di wajahnya yang cantik itu. "Kamu...tidak ingat aku?" tanya Terra sedih. "Apa maksudmu? Aku memang tak mengenalimu. Mungkinkah kamu berpikir aku Shera?" tanya orang itu balik. Wajahnya berubah menjadi sedih. Terra terlihat makin bingung dengan perkataan gadis itu. 'Bukannya dia memang Shera?' Batinnya. Raysha yang tak tahu apa-apa hanya diam memperhatikan mereka berdua.
"Aku..saudara kembarnya," jawab orang itu pelan. Terra baru akan mengatakan sesuatu sampai gadis itu kembali berbicara. "Kau pasti bertanya kenapa dia tidak memberitahumu? Dulu orangtua kami bercerai. Shera diasuh oleh ayah kami dan aku diasuh oleh ibu. Oh ya, aku belum mempekenalkan diri. Aku Sahla," Orang yang bernama Sahla mencoba untuk tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan dijabat oleh Terra. "Terra," jawab Terra singkat. Ia memaksakan dirinya tersenyum.
"Shera...sudah meninggal." dan Terra tak dapat menahan rasa keterkejutannya. Beberapa tetes air mata meleleh melewati pipinya itu. Ia bahkan belum menepati janjinya untuk berduet bersama Shera. Dan dia belum meminta maaf pada Shera. Memori-memori akan perpisahannya dengan Shera kembali memenuhi pikirannya.
***
6 tahun yang lalu...
Di aula sebuah sekolah terlihat sangat ramai hari ini. Aula SMP Benih Harapan, tempat Terra dan Shera bersekolah sedang mengadakan acara. Acara perpisahan sekaligus kelulusan angkatan 29 di SMP Benih Harapan. Semua orang tua yang datang tersenyum haru melihat anaknya telah lulus dari SMP. Terra melihat teman-teman seangkatannya sedang berbicara akrab dengan orang tua mereka. Sejujurnya, ia iri. Orang tuanya bahkan lebih memilih mengurus perusahaan mereka di luar negeri daripada mengunjungi acara kelulusannya. Duk.. Seseorang menyentuh bahunya keras. Ia tahu itu adalah kebiasaan Shera. Ia berbalik dan melihat Shera menatapnya dengan senyum tulus. "Jangan terus memandang mereka seperti itu. Orang tuamu pasti memiliki alasan kuat untuk itu. Aku dengar kamu peringkat 4 seangkatan loh..." Shera selal tahu bagaimana cara menghibur Terra. Ia menggoda Terra terus-terusan membuatnya malu.
"Baiklah anak-anak, kita sampai pada acara kita selanjutnya. Acara Unjuk Bakat setiap kelas!" Dan terdengar sorak dan tepuk tangan meriah dari para murid. "Ssstt.. Kemarin saat kau tidak masuk, kami sekelas disuruh memilih siapa yang akan mengikuti acara unjuk bakat ini. Karena tidak ada yang mau, aku mengusulkan kamu sebagai penyanyi dan mereka semua setuju." bisik Shera kepada Terra. Terra merasakan jantungnya berdebar grogi dan keringat dingin mengucur dipelipisnya. "A..Apa?" lirih Terra. "Dan selanjutnya dari kelas 9.3!" seru pembawa acara. "Terra! Terra! Terra! Terra! Terra!" seluruh murid dari kelasnya menyorakan namanya. Tak terkecuali Shera. Terra di dirong maju oleh Shera keatas panggung. Ia melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju panggung dengan bergetar.
"Baiklah Shera, disini tertulis kamu akan bernyanyi. Apa yang akan kamu nyanyikan?" Tanya si pembawa acara. "Aku..aku..aku akan bernyanyi...emm. Twinkle Twinkle Little Star!" ujar Terra ragu. "Kenapa memilih lagu itu?" tanya si pembawa acara lagi. "Karena..karena.. lagu itu mengingatkan kita pada masa kecil. Jadi kita tidak akan melupakan masa kecil kita walau sudah beranjak dewasa." ujar Terra ragu lagi. "Baiklah mari kita mulai! 1! 2! 3!" berbagai alat musik mulai berbunyi. Namun, Terra tak kunjung bernyanyi. Ia menggenggam mic itu dengan erat. Sampai musik berhentipun ia tak kunjung bernyanyi. Semua menatap heran padanya. Terutama Shera. Ia memberanikan diri untuk berbicara. "Aku..aku..aku tidak bisa!" ucap Terra sedih. Air mata mulai mengucur di wajahnya. "Terra.." gumam Shera. Terra segera menjatuhkan mic itu dan berlari keluar dari aula sekolahnya.
Karena musik yang terlalu keras didalam, ia tak tahu bahwa keadaan diluar sedang hujan. Dengan nekat, dia menerobos derasnya hujan. "Terra!" seru seseorang. Terra berhenti dan berbalik. Disana Shera berjalan menuju dirinya tanpa membawa payung. Nekat menerobos hujan seperti Terra. "Kenapa? Kenapa kau tidak menunjukkan bakatmu Terra?" hujan membasahi keduanya. "Karena..aku tak bisa! Aku tak bisa bernyanyi!" ucap Terra pasrah. "Kau bisa bernyanyi.
Tapi kau tak mau menunjukannya."
balas Shera. "Sejak awal kau ingin bernyanyi. Hatimu berkata kau ingin
bernyanyi. Hanya saja, kau terlalu takut untuk mencobanya. Terlalu tak percaya
diri! Kau menghancurkan keparcayaan kami. Tak bisa diandalkan." ucap Shera
tajam. "Dari awal aku tak mau melakukannya! Kalian memintaku tanpa meminta
persetujuanku! Aku...Aku takut! Aku..tak bisa..Aku tak bisa melakukannya."
balas Terra. "Kalau begitu...aku juga tak bisa...Aku juga tak bisa
berteman denganmu..Aku tak bisa berteman dengan seorang pecundang!"
Kalimat terakhir Shera sangat menyakiti hatinya. Tangisannya pecah bersamaan
dengan Shera yang melangkah menjauhinya. Air matanya bahkan tak dapat dibedakan
dengan air hujan. Ia terus berdiri disana menatap pintu gerbang sekolahannya. Tak
ada yang menemuinya lagi. Tak ada. Hanya hujan yang menemaninya menangis. Dan
angin yang berhembus seiring dengan mendinginnya hati Terra.
***
Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan baru menyadari bahwa sekarang dia berada di kamarnya. "Kau sudah bangun?" Tanya Raysha pelan. Ia mengangguk lemah dan berharap apa yang baru saja dialaminya tadi hanya mimpi. "Apa tadi...aku pingsan?" Tanya Terra. Raysha tersenyum lembut dan mengangguk. "Berarti semuanya benar-benar terjadi. Apa yang dikatakannya saat aku pingsan tadi?" Raysha menunduk sebentar dan menjawab, "Baiklah kalau kau ingin tahu. Sahla bilang Shera meninggal 6 tahun yang lalu." Mata Terra kembali melebar. Berarti..."Ia meninggal saat sehari setelah kelulusannya. Dia ingin memberikanmu surat sebagai tanda permintaan maafnya. Tapi, dia lebih memilih menyelamatkan seorang anak kecil yang berada di tengah jalan raya. Ia ingin memberikan ini untukmu," Raysha menyodokan selembar amplop putih yang telah kusut dan agak kotor.
'Hi, Terra. Aku tahu ucapanku kemarin terlalu berlebihan. Aku hanya ingin menumbuhkan rasa percaya dirimu. Aku memang salah. Seharusnya aku meminta pendapatmu dulu sebelum bertindak. Aku pernah mendengar rekaman suaramu di HP mu. Suaramu bagus, Terra! Sangat bagus! Kenapa kau tidak bernyanyi saja sih.
***
Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan baru menyadari bahwa sekarang dia berada di kamarnya. "Kau sudah bangun?" Tanya Raysha pelan. Ia mengangguk lemah dan berharap apa yang baru saja dialaminya tadi hanya mimpi. "Apa tadi...aku pingsan?" Tanya Terra. Raysha tersenyum lembut dan mengangguk. "Berarti semuanya benar-benar terjadi. Apa yang dikatakannya saat aku pingsan tadi?" Raysha menunduk sebentar dan menjawab, "Baiklah kalau kau ingin tahu. Sahla bilang Shera meninggal 6 tahun yang lalu." Mata Terra kembali melebar. Berarti..."Ia meninggal saat sehari setelah kelulusannya. Dia ingin memberikanmu surat sebagai tanda permintaan maafnya. Tapi, dia lebih memilih menyelamatkan seorang anak kecil yang berada di tengah jalan raya. Ia ingin memberikan ini untukmu," Raysha menyodokan selembar amplop putih yang telah kusut dan agak kotor.
'Hi, Terra. Aku tahu ucapanku kemarin terlalu berlebihan. Aku hanya ingin menumbuhkan rasa percaya dirimu. Aku memang salah. Seharusnya aku meminta pendapatmu dulu sebelum bertindak. Aku pernah mendengar rekaman suaramu di HP mu. Suaramu bagus, Terra! Sangat bagus! Kenapa kau tidak bernyanyi saja sih.
Tahu tidak, semua murid di kelas kita merasa bersalah loh, denganmu! Aku harap kamu mau memaafkan mereka dan juga aku. Aku sengaja mengucapkan maafku melalui surat ini karena aku masih malu bertemu denganmu kerana kejadian kemarin. Aku merasa tidak pantas dimaafkan. Hehehe... maafkan aku dan yang lainnya ya? :)'
Terra meneteskan air mata dalam diam. Tak terdengar isak tangisnya. 'Andaikan kau tahu Shera, aku sudah memaafkanmu bahkan aku berterima kasih padamu. Setelah kejadian itu, aku berubah menjadi gadis yang pemberani dan percaya diri. Terima kasih ya... Aku juga minta maaf karena dulu tidak dapat diandalkan dan telah membuat kalian malu. Kau tahu...sekarang aku sudah menjadi penyanyi terkenal dan satu lagi. Aku minta maaf karena tidak dapat melaksanak janji kita..' Dan Terra tersenyum tulus. Senyum tulus yang pertama kali ini ia berikan.
"Nasihat
Sahabat"
"Sudah seribu kali, aku mengatakan hal itu padamu. Dia kan beda Ras dengan kita"ucap Dinda. "Kamu milih dia apa aku, sahabatmu."
"Jelas aku milih dia! Kamu enggak tau gimana rasanya jatuh cinta."teriakku kesal dan pergi meninggalkannya.
Dinda, sahabatku selalu berkata hal yang sama. Dia tidak menyetujuiku dengan White, pacarku yang bule ini. Memang aku dan Dinda sudah bersahabat dari SMP dan sekarang kami sudah mau lulus SMA.
Aku enggak suka kalau Dinda ikut campur urusanku dengan White, cowo bule yang baru berpacaran denganku sebulan lalu.
Dinda selalu saja menyuruhku untuk tidak dekat dengan White apa lagi berpacaran dengannya. Dinda yang memperkenalkanku dengan White. Awalnya mereka sering chat dan Dinda mengenalkan White padaku karena aku suka dengan cowo bule. Tapi Dinda enggak pernah menyangka, kalau hubungan kami akan seserius ini.
White, cowo bule dari California, Amerika. Berumur setahun lebih tua daripadaku. Ia baik, sopan dan ramah. Awalnya White memintaku menjadi pacarnya sehari setelah aku berkenalan dengannya. Menurutku ini terlalu cepat. Jadi aku tidak menerimanya. Seminggu kemudian, ia menembakku lagi, karena aku sudah merasakan getar-getar cinta, ya aku pun menerimanya. Toh tidak ada salahnya mencoba hubungan ini.
White selalu bilang, 'Disini (California) mereka pacaran untuk mengenal seseorang lebih jauh.' Sementara di Indonesia, kebanyakan remaja pacaran karena sudah mengenal pasangannya.
Aku dan Dinda sudah tidak saling bicara lagi semenjak hari itu. White berjanji akan datang ke Indonesia dan memintaku menemaninya untuk berjalan-jalan.
Timbullah rasa penasaranku mengapa aku tidak boleh terlalu dekat dengan White.
"Din, jelasin ke aku, kenapa aku ga boleh deket sama White!"ucapku sambil duduk disampingnya.
"Kamu enggak bakal percaya sama aku, lagian kamu sudah mencintainya kan?"Dinda yang sekarang meninggalkan aku sendiri dikelas.
Terserah! Terserah si Dinda deh, aku tidak akan menanyainya lagi.
Entahlah, mengapa aku bisa mengucapkan kata-kata itu, aku lebih memilih White, orang yang baru ku kelas daripada Dinda, sahabatku?
White pun memutuskan untuk datang ke Indonesia. Aku sudah janji akan menemaninya. Kami pun pergi ke mal dan aku mengantar White ke hotel tempatnya ia mengginap.
"Kamu harus tidur bersamaku. Kan kamu sudah janji ingin menemaniku. Bukankah kamu mencintaiku?"ucap White menarik lenganku.
"Lepasin White. Aku enggak mau."aku terus merontah.
Klik!
Pintu kamar terbuka, security dan Dinda berdiri didepan pintu. Aku langsung lari kedekapan Dinda. Kami pun pergi meninggalkan White sendiri.
"Itulah mengapa aku enggak mau kamu sama White."ucap Dinda. "Dulu setelah aku mengenalkan White padamu, ia memintaku berfoto tanpa pakaian. Tapi aku tidak melakukannya dan aku mengingatkanmu supaya kamu tidak dekat dengannya."
"Kok kamu bisa tau aku disini?"
"Aku mengikuti kalian seharian ini."ucap Dinda.
Cerpen Persahabatan
Nikmatnya bila semua serba tercukupi,
semua keinginan bisa terpenuhi sampai barang apapun bisa dibelinya, itulah
riska, seorang anak dari kongomerat yang sangat kaya, Ibu dan Ayahnya adalah
pengusaha besar yang berada di daera Kota Jakarta. Tapi hal yang sangat baik
dari keluarga itu adalah mereka mampu bersikap dan berperilaku layaknya orang
biasa, bersopan santun, ramah terhadap tetangga begitupun kepada orang – orang
yang berkunjung ke rumahnya. Tak terkecuali dengan riska, anaknya manis dan
tidak pernah manja dengan orang tuanya, dia bisa bersikap baik terhadap semua
orang termasuk teman-temanya sehingga banyak yang betah ketika bertamu
kerumahnya.
Salah
satu sahabat terbaik riska yaitu Ika, dia berasal dari keluarga sederhana,
rumahnya yang masih satu kecamatan dengan riska mambuatnya gampang untuk
bermain atau sekedar bertemu dengan riska. Namun pada hari ini sahabatnya
Ika tak pernah keliatan lagi,, hampir sudah 3 minggu ini.
“Ko`
Ika ngga` pernah keliatan? Kemana ya, g biasanya dia selalu masuk sekolah”.
“Mungkin
sakit” , jawaban dari Mama
“Kalo
begitu coba nanti sore aku pengen ke rumahnya lagi”. Kata riska sangat
bersemangat
Sudah
beberapa kali riska mengetuk pintu, namun tak ada jawaban dari dalam rumah,
kemudian tiba – tiba muncul orang dari sebelah rumah.
“Ada
apa mb”, tanya orang lelaki itu
“Saya
mau mencari teman saya , Ika namanya”, jawabnya cepat
Alangka
terkejutnya jawaban dari lelaki itu, jika Ika yang selama ini dia kenal dan
menjadi sahabatnya mengontrak di rumah itu, kemudian kembali ke desanya karena
menurut kabar orang tuanya sudah berhenti bekerja akibat di PHK oleh
perusahaanya.
Sekembalinya
riska ke rumah, ia hanya bisa melamun dan tidak bisa berbuat apa – apa. Lantas
ia pun bergegas ingin mencari Ika di desanya.
“Mama,
aku ingin mencari Ika, biarkan dia bisa melanjutkan sekolahnya lagi”, tanyanya
“Baiklah
kalo itu keinginanmu, mari bergegas dan segera mencari alamt Ika dahulu”, jawab
Mamanya dengan penuh perhatian
Akhirnya
keinginan Riska terpenuhi, dan selama beberapa jam bertanya – tanya di
tempat pedesaan yang pernah Riska ketahui, bisa menemukan alamat rumah Ika.
Kedatanganya pun disambut haru dan isak tangis oleh keluarganya termasuk Ika.
Pelukan hangat diantara mereka menjadikan persahabatanya semakin erat.
“Ika,
kedatanganku sama keluarga ingin mengajakmu kembali bersekolah sekaligus ikut
kami ke Jakarta lagi”. Katanya Riska
“Soal
sekolah dan biaya apapun, kamu ngga` usah khawatis biar saya yang menanggunya”,
lanjut Papa Riska
“Baiklah
bila Riska dan Bapak Ibu menghendaki dan memberikan kesempatan itu pada saya,
saya sangat bersyukur dan banyak mengucapkan terima kasih atas kebaikan Riska
dan keluarga”. Jawabnya Ika diselingi haru yang luar biasa.
“terima
kasih banyak Pak, Buk, kami tidak bisa lagi harus memberikan imbalan seperti
apa, karena hanya petani biasa”, lanjutnya Ibu dan Bapak Ika
Lalu
mereka pun kembali berpelukan untuk kembali menyambut Ika menjadi sahabatnya
kembali.
Pantang Menyerah Untuk Sekolah
Danu adalah anak dari orang yang kurang mampu,
Ibunya meninggal dunia saat Danu berumur 2 tahun. Sepeninggal Ibunya,
keluarganya menjadi berantakan, ayah Danu mempunyai banyak hutang kepada
rentenir untuk menghidupi keluarganya, uang hasil kerja sebagai penyapu jalanan
saja tidak cukup untuk menghidupi keluarganya.
Danu duduk di kelas 6 SD, walaupun dia anak dari
orang yang kurang mampu tapi ia termasuk siswa yang cukup pandai. Setelah
pulang sekolah Danu selalu menjualkan koran dari toko koran langganannya,
setiap hari Danu mendapat uang sebesar Rp 25.000 dari hasil menjualkan koran. Uang
itu ia pergunakan untuk membelikan obat untuk adiknya yang terbaring lemah di
tempat tidur.
Suatu ketika, Danu diberi sebuah surat dari Pak
Dadang, guru Danu, Surat itu ia berikan kepada Ayahnya, ternyata isi surat
tersebut adalah Danu diminta untuk membayar uang sekolah yang sudah menunggak
selama 4 bulan. Danu berfikir apakah ia bisa melanjutkan sekolahnya atau tidak.
Danu sudah 5 hari tidak masuk sekolah, ia
berusaha mencari uang bersama ayahnya untuk membiayai sekolahnya. Pada sore
hari Pak Imam Guru sekolahnya Danu datang ke rumahnya Danu, Pak Imam bertanya
kepada Danu kenapa sudah tidak masuk sekolah selama 5 hari, Danu berterus
terang bahwa ia mencari uang bersama Ayahnya untuk membiayai sekolahnya. Cukup
lama mereka berbincang-bincang, tidak lama kemudian Pak Imam berkata kepada
Danu untuk terus sekolah, dan Pak Imam akan membiayai Sekolah (SD) Danu.
Esok harinya Danu masuk sekolah, di sekolah ada
pengumuman bahwa Ujian Sekolah akan diadakan 1 minggu kemudian, dan barang
siapa yang lulus dengan nilai yang bagus ia akan mendapat beasiswa untuk masuk
SMP Harapan Bangsa secara gratis.
Danu terus belajar dengan giat, agar ia bisa
mendapatkan beasiswa tersebut. Saat Ujian berlangsung, Danu dapat
mengerjakannya dengan baik.
3 minggu kemudian hasil Ujian Nasional diumumkan,
Danu sangat gembira dengan nilai yang cukup bagus, yaitu: BI (9,2), Mat (9),
IPA (9,6). dan Pak Imam mengumumkan siapa yang mendapat beasiswa masuk SMP
Harapan Bangsa. Dan ternyata Danu yang mendapatkan beasiswa tersebut. Danu
sangat gembira dan berterimakasih kepada semua gurunya dan Ayahnya yang telah
membantunya dalam belajar.
Akhirnya Danu terus melanjutkan sekolahnya ke
jenjang yang lebih tinggi yaitu SMP, ia akan belajar dengan sungguh-sungguh
supaya berhasil untuk meraih cita-citanya, yaitu seorang Guru.
TAMAT
Dunia Baru dalam Kertas Lipat
Di sini aku berusaha menuliskan beberapa kata dari
secarik kertas pelangi yang berisi dengan penuh pengharapan. Harapan yang tak
akan tinggal sebagai bulatan kertas yang terobek secara percuma, yeah aku akan
berusaha wujudkan dengan cita cita.
“Mama minta kelak kamu menjadi orang yang berhasil
nanti,” mencoba menahan air mata yang akan keluar dari pelupuk mata.
Aku tercenung, seakan kata itu menelusuri lubuk hati dan mengikat prinsip bahwa aku selayaknya menjadi seseorang yang lebih baik, namun aku bingung harus memulai dari mana.
Aku tercenung, seakan kata itu menelusuri lubuk hati dan mengikat prinsip bahwa aku selayaknya menjadi seseorang yang lebih baik, namun aku bingung harus memulai dari mana.
Saat di Kampus,
“Hey, nglamun mulu?! Pikiran lu jangan kamu kosongin, bahaya ntar say!”
“Aaaahhh, apaan sih, orang lagi merancang cita-cita juga, ganggu aja!”
Temanku hanya menggeleng gelengkan kepalanya.
“Hey, nglamun mulu?! Pikiran lu jangan kamu kosongin, bahaya ntar say!”
“Aaaahhh, apaan sih, orang lagi merancang cita-cita juga, ganggu aja!”
Temanku hanya menggeleng gelengkan kepalanya.
Aku bersekolah di institusi kesehatan yang cukup
bagus. Memang tak pernah tersirat untuk berpikir bahwa aku dilahirkan untuk
menjadi seorang yang bisa merawat pasien apapun kondisinya yang entah membuat
aku terasa mual atau tidak, layaknya perawat harus membutuhkan hati yang tulus
untuk merawatnya.
Awalnya, aku hanya menjadi seorang mahasiswa
pemalas yang berusaha hanya untuk menyenangi duniaku sendiri terlebih mengingat
saat dosenku sibuk mengajar kepada mahasiswa tentang bahasa latin. Aku
menyebutnya Mother Alien.
“Saccaromyces adalah salah satu bakteri yang menguntungkan bagi manusia, salah satunya adalah Saccaromyces cerevisiae blab la bla”,
“Orang ini lancar amat ya bicaranya?”, gumamku pada teman-teman.
“Haha, diem lu! Namanya juga dosen, wajar kale, paling nggak dia udah latihan lah, sebelum dia dipermalukan di depan kelas,”
“Ups, hehe iya,”,
Hmm, lagi-lagi otakku serasa berputar dan lagaknya hemisphere otak kanan-kiriku sudah mulai tak berfungsi lagi. Pusing, karena selalu ada kata terminologi baru yang harusnya aku membawa kamus keperawatan untuk tahu maksud istilah tersebut. Bosan, karena menyita waktu hingga beberapa jam mulai aku duduk tenang hingga pantat yang terasa panas karena lamanya frekuensi aku duduk manis ketimbang beraktivitas sesuka hati.
“Mendingan ngelipet ngelipet kertas aja ding!” sambil aku peragakan ke teman dekatku, Eby.
“Nina, Nina, seketika ekspresi Eby mulai mendatar.
“Saccaromyces adalah salah satu bakteri yang menguntungkan bagi manusia, salah satunya adalah Saccaromyces cerevisiae blab la bla”,
“Orang ini lancar amat ya bicaranya?”, gumamku pada teman-teman.
“Haha, diem lu! Namanya juga dosen, wajar kale, paling nggak dia udah latihan lah, sebelum dia dipermalukan di depan kelas,”
“Ups, hehe iya,”,
Hmm, lagi-lagi otakku serasa berputar dan lagaknya hemisphere otak kanan-kiriku sudah mulai tak berfungsi lagi. Pusing, karena selalu ada kata terminologi baru yang harusnya aku membawa kamus keperawatan untuk tahu maksud istilah tersebut. Bosan, karena menyita waktu hingga beberapa jam mulai aku duduk tenang hingga pantat yang terasa panas karena lamanya frekuensi aku duduk manis ketimbang beraktivitas sesuka hati.
“Mendingan ngelipet ngelipet kertas aja ding!” sambil aku peragakan ke teman dekatku, Eby.
“Nina, Nina, seketika ekspresi Eby mulai mendatar.
Pulangnya, aku kembali ke asrama. Karena memang
disitulah rumah yang kedua setelah my home sweet home ku. Berbagai perasaan
tumpah ruah disisni, ada tawa, canda, senang, dan sedih.
“Kamu tahu gak yang temennya, Jeny itu sekarang kalau ke kampus gak pake kerudung, norak banget tuh anak!”
“Ah, masa’ sih, padahal kalau diliat, anaknya lumayan diem, ih kok gitu ya?” berbagai desas desus layaknya percakapan orang rumah susun
Namun di semester yang baru ini, ada kecenderungan aku untuk bangkit dari keterpurukan, seperti menemukan titik terang.
Aku ingin menjadi seseorang yang besar dalam hidup. Anganku seakan menggelayut di atas kepalaku persis dan aku tinggal mengambil dengan tangan untuk menggapai cita cita tersebut. Lewat sekolah keperawatan inilah kelak aku akan menjadi pengajar yang profesional, disiplin dan berdedikasi tinggi. Sejenak aku pun keluar dari asrama dan menikmati tempat duduk yang asri ditempa angin. Sambil menikmati udara malam di luar, tak terasa aku pun tertidur.
“Kamu tahu gak yang temennya, Jeny itu sekarang kalau ke kampus gak pake kerudung, norak banget tuh anak!”
“Ah, masa’ sih, padahal kalau diliat, anaknya lumayan diem, ih kok gitu ya?” berbagai desas desus layaknya percakapan orang rumah susun
Namun di semester yang baru ini, ada kecenderungan aku untuk bangkit dari keterpurukan, seperti menemukan titik terang.
Aku ingin menjadi seseorang yang besar dalam hidup. Anganku seakan menggelayut di atas kepalaku persis dan aku tinggal mengambil dengan tangan untuk menggapai cita cita tersebut. Lewat sekolah keperawatan inilah kelak aku akan menjadi pengajar yang profesional, disiplin dan berdedikasi tinggi. Sejenak aku pun keluar dari asrama dan menikmati tempat duduk yang asri ditempa angin. Sambil menikmati udara malam di luar, tak terasa aku pun tertidur.
“Baik semuanya, saya Ibu Nina kali ini saya akan
mengajarkan mata kuliah Keperawatan Anak, kali ini saya akan menjelaskan
anak-anak dengan kasus demam thypoid. Thypoid adalah yang penyakit yang
menyerang saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Slmonella Thyposa,
blab la bla..” , aku menjelaskannya dengan penuh arti.
“Apakah kita dapat mengidentifikasi tanda penyakit tersebut secara spesifik bu?,” tandas salah satu Mahasiswa.
“Bisa, kita bisa mengetahuinya lewat demam enteric, yaitu pagi hari suhu menurun dan seperti orang yang sehat dan normal saja, namun di malam hari suhunya akan menaik secara progresif dalam waktu 7-14 hari,”
“Mahasiswa pun manggut-manggut seaakan paham. Sementara, aku pun tersenyum puas.
Tak terasa aku pun merasakan udara malam yang semakin dingin menembus pagar yang melingkupi rumah asramaku. Aku pun bangun dan segera masuk untuk menyelamatkan tubuhku dari hypotermi. Aku segera mengambil wudu dan mulailah untuk segera solat. Di dalam doa, aku memanjatkan penuh harap semoga cita-cita ku bisa terwujud dengan lancar tanpa terhalang oleh rintangan satupun. Aku menangis, karena aku sudah menemukan kelegaan hati dan petunjuk jalan.
Dimulai dari awal, aku harus membangunnya satu persatu untuk mewujudkan anganku yang masih terbang bebas di atas sana. Belum sempat aku memancingnya hingga mewujudkan anganku, hatiku tergetak untuk menggapai cita yang impikan selama ini. Semoga aku menjadi orang yang lebih baik lagi. Amiiin.
“Buatlah orang tuamu bangga nak…”
Dan aku hanya tersenyum simpul, menandakan jawaban iya.
“Apakah kita dapat mengidentifikasi tanda penyakit tersebut secara spesifik bu?,” tandas salah satu Mahasiswa.
“Bisa, kita bisa mengetahuinya lewat demam enteric, yaitu pagi hari suhu menurun dan seperti orang yang sehat dan normal saja, namun di malam hari suhunya akan menaik secara progresif dalam waktu 7-14 hari,”
“Mahasiswa pun manggut-manggut seaakan paham. Sementara, aku pun tersenyum puas.
Tak terasa aku pun merasakan udara malam yang semakin dingin menembus pagar yang melingkupi rumah asramaku. Aku pun bangun dan segera masuk untuk menyelamatkan tubuhku dari hypotermi. Aku segera mengambil wudu dan mulailah untuk segera solat. Di dalam doa, aku memanjatkan penuh harap semoga cita-cita ku bisa terwujud dengan lancar tanpa terhalang oleh rintangan satupun. Aku menangis, karena aku sudah menemukan kelegaan hati dan petunjuk jalan.
Dimulai dari awal, aku harus membangunnya satu persatu untuk mewujudkan anganku yang masih terbang bebas di atas sana. Belum sempat aku memancingnya hingga mewujudkan anganku, hatiku tergetak untuk menggapai cita yang impikan selama ini. Semoga aku menjadi orang yang lebih baik lagi. Amiiin.
“Buatlah orang tuamu bangga nak…”
Dan aku hanya tersenyum simpul, menandakan jawaban iya.
Kisah Petani
Suatu hari seorang petani sedang duduk bernaung di bawah pohon beringin di dekat sawahnya. Petani itu duduk dengan tatapan sayu seraya memandangi tanaman padinya yang mulai menguning. Petani itu pun termenung dan mulai menggerutu.“bertahun-tahun aku mengolah sawahku dengan baik tanpa mengenal lelah, ku Tanami padi dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang. Tapi kenapa bertahun-tahun lamanya kehidupanku tetap seperti ini tidak pernah berubah. Hasil panen tak kunjung membuahkan hasil maksimal padahal aku selalu merawatnya. Sungguh tidak adil dunia ini…” Kata petani tersebut.
Petani itu pun terbangun dari lamuananya dan kembali bekerja merawat padinya. Diusirnya burung-burung pipit yang sedang asyik menikmati biji padi yang hampir menguning dengan orang-orangan sawah yang dia gerak-gerakan. Sayangnya usaha itu tak memberikan hasil yang memuaskan, karena setiap kali dia melakukan hal itu untuk mengusir burung-burung itu, hanya sebagian burung saja yang pergi melarikan diri dan meninggalkan ladangnya sedangkan yang lain masih asyik menyantap lezatnya biji-biji padi milik petani itu.
Berulang-ulang petani itu menggerak-gerakan orang-orangan sawah untuk mengusir burung-burung pipit yang terus hinggap di antara batang padi miliknya. Semakin lama, petani itu pun kelelahan dan merasa kewalahan menghadapi serbuan burung pipit yang kian mengganas. Petani itu pun duduk memandangi ladang penuh burung pipit yang sedang berpesta pora.
Petani itu pun membuka caping yang dipakai di kepalanya. “kalau seperti ini terus kapan hasil panen saya meningkat? Kelakuan burung pipit itu semakin menggila membuatku lemah tak berdaya karenanya”
Tiba-tiba ada salah seorang kakek lewat dan berhenti tepat di belakang petani itu. “jangan pernah berharap sesuatu yang besar jika kamu tak pernah mau melakukan perubahan pada dirimu”.
Suara kakek mengejutkan petani yang masih sibuk memandangi kawanan burung pipit, dia membalikan badan seraya berucap “perubahan apa maksud anda? Saya sudah melakukan pekerjaan saya dengan benar”. Petani itu merasa tersinggung dan dihina serorang kakek.
“perubahan pada cara anda merawat sawah anda, apakah anda tidak sadar selama ini anda bekerja dengan cara yang tidak tepat? Ingat untuk mendapatkan sesuatu yang besar perlu usaha yang maksimal. Saya yakin jika anda tetap bekerja dengan cara seperti ini sampai kapanpun hasil panen anda tidak akan berubah lebih banyak tetapi semakin berkurang” kata kakek dengan bijak.
“lalu usaha apa yang harus saya lakukan?” Tanya petani penuh rasa penasaran.
“kamu hanya perlu berinovasi dalam bekerja, contohnya kamu perlu cara baru yang efektif untuk mengusir burung-burung itu supaya biji padimu tetap utuh” ucap kakek. Tak lama kemudian kakek itu pun pergi melanjutkan perjalanannya tanpa berucap pamit ke petani.
Setelah cukup lama meresapi nasehat kakek, petani itu membalikkan badan hendak mengucapkan terima kasih ke kakek. Sayangnya kakek itu telah menghilang dari hadapan matanya. Petani itu menghela nafas panjang dan berteriak “saya akan mencobanya”.
Hikmah yang bisa diambil dari kisah diatas adalah:
Untuk mendapatkan sesuatu yang besar diperlukan perubahan yang besar pula. Tak hanya itu, kita juga butuh cara-cara yang berbeda dalam meraihnya karena jika kita menginginkan sesuatu yang besar dengan cara-cara yang sama dan tak pernah melakukan perubahan dalam meraihnya. Maka usaha kita bagaikan menegakkan benang basah, usaha kita hanya sia-sia belaka dan keinginan kita hanya sebatas angin lalu yang tak akan pernah terwujud.
Buta Bukanlah Akhir
Namaku Rina. Umurku sembilan tahun kelas 4 SD. Aku sekolah di Girls International Junior High School, sekolah khusus perempuan.
“Bun, Rina berangkat ya!” Kataku.
“Hati hati.” Bunda menyahut sambil menyelesaikan mencuci piring terakhir.
Rina berangkat ke sekolah diantar ayah. Di jalan, ada sebuah truk besar. Pengendara truk itu melamun jadi tidak sengaja dia menabrak motor ayah.
“Tidak!” Kataku. Ayah selamat, tapi justru AKU yang tertimpa truk itu.
Aku menyadari pandanganku gelap. Ambulan datang. Ayah menghubungi bunda tentang keadaanku, lalu bunda menyusul ke RS Zahmutawakal.
Aku dicek keadaan disitu.
“Dok, bagaimana keadaan anak saya” tanya bunda.
“Anak anda mengalami kebutaan,” kata sang dokter agak prihatin sambil memegang sebuah alat kedokteran.
“Huhuhu” tangis bunda dan ayah.
“Apa, aku mengalami kebutaan?” Tanyaku. Aku berlari dengan sedih berdenyut denyut, melepaskan kaitan infus yang menyangkut ke taman rumah sakit. Aku tertubruk terus karena tidak bisa melihat jalan.
Aku merasakan seorang anak sebayaku menghampiriku.
“Hai,” katanya.
“Hai.” Ucapku pelan.
“Kamu… buta, ya?” Tanya anak itu takut aku tersinggung.
“Iya emang kenapa?” cetusku.
“Gak ada,” ucapnya.
“Dulu aku juga buta. Aku menyerah dalam hidupku, tapi sahabatku terus menyemangatiku. ‘Buta bukanlah sebuah akhir’. Perjuangkan hidupmu sendiri dan bersinarlah. Hantam penyakit butamu, dan berjuanglah. Kamu akan mendapati setitik cahaya kemenangan bahwa kamu telah melawan kebutaanmu sendiri dan sadar, bahwa buta bukanlah akhir yang menyakitkan.” Anak itu bercerita.
“Makasih banyak. Sekarang aku sadar.” Aku tersenyum. Ya. Buta bukanlah sebuah akhir. Senyumilah hidupmu, dan berjuanglah.
Tamat
No comments:
Post a Comment