Perkembagan Politik di Indonesia
Tak dapat dipungkiri, setiap negara di dunia
mempunyai periode kepemimpinan politik yang beragam. Kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi modal awal terbentuknya sistem politik.
Kemudian membentuk pemerintahan yang sah dan menjalankan roda kepemimpinan
dalam sebuah sistem kenegaraan. Hal ini ditandai dengan berbagai istilah di
masa-masa kepemimpinan yang berbeda. Pada awal kemerdekaan, situasi politik
Indonesia masih mencari bentuknya, ditandai dengan berbagai perubahan yang
dibuat. Pembentukan sifat politik ini menghadirkan era kepemimpinan politik
yang khas.
Perkembangan Politik
Era Reformasi
Tidak ada yang dapat memberikan penilaian dengan
pasti apakah cita-cita reformasi sudah terwujud atau belum. Runtuhnya kekuasaan
Soeharto padahal telah memberikan secercah harapan bagi terciptanya iklim
demokrasi yang jauh lebih baik. Namun, harapan itu kenyataan hanya menjadi
mimpi tanpa realisasi nyata. Masih adanya perbedaan dalam pandangan ketegasan terhadap
sistem pemerintahan, merupakan salah satu indikator yang bisa kita lihat. Di
sini terlihat ada persaingan politik yang terjadi, antara pemerintah dan
legislatif sebagai pembuat produk undang-undang.
Kekuasaan presiden tidak mutlak dijalankan secara
penuh, tapi terpengaruh pada parlemen. Hal ini akhirnya menciptakan situasi
politik yang tidak sehat, karena presiden terpaku oleh kepentingan lain.
Kepentingan itu bisa jadi tidak berpengaruh pada perbaikan kondisi bangsa
secara keseluruhan. Dari uraian tadi, jelas terlihat bahwa sistem demokrasi
dalam perkembangan politik Indonesia yang dibangun pasca Orde Baru masih
mencari bentuk yang ideal. Satu prestasi yang patut kita cermati adalah
keinginan yang kuat untuk merealisasikan sistem pemilihan kepala daerah
langsung. Kebebasan berserikat dan berpendapat yang ada dalam undang-undang
dasar direalisasikan dengan sistem multipartai.
Lembaga politik
Secara awam berarti suatu
organisasi tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu kebiasaan atau perilaku
yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang diakui oleh negara
lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat
saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah
suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu
untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi
bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang
terpola dalam bidang politik.
Pemilihan
pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan
kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu
bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan
umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam
kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita
untuk duduk di parlemen.
Persoalan utama dalam
negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia
saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku
pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai
dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga
feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti
bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik
dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan
mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Untuk
melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat
struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa
menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan
yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya
bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu
berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku..
Pengertian
Partai Politik
Partai berasal dari
bahasa Latin yaitu partire yang bermakna membagi.Partai merupakan peralihan
jangka panjang dari istilah faksi, dimana faksi di Eropa pada masa lalu sekitar
abad XVIII memiliki konotasi negatif dan sangat dikenal sebagai organisasi
penghasut yang ada dalam setiap bentuk organisasi politik.
Faksi berasal
dari bahasa Latin, yakni facere yang artinya bertindak atau berbuat, dalam
pengertian politik faksi adalah kelompok yang melakukan tindakan-tindakan
merusak, kejam dan bengis. Pembicaraan tentang faksi biasanya mengarah pada
pembicaraan kelompok di mana kepentingan bersama harus tunduk pada kepentingan
perorangan (Cipto :1998:1)
Mariam Budiarjo dalam bukunya dasar-dasar Ilmu
Politik mengutip berbagai difinisi partai politik dari berbagai sarjana. Ia
sendiri merumuskan partai politik sebagai suatu kelompok yang teroganisir yang
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita yang sama Tujuan kelompok
ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya) secara konstitusionil –untuk melaksankan kebijaksanan-kebijaksanaan
mereka. Menurut Sigmund Neumann menyatakan Partai Politik sebagai organisasi
artikualitif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam
masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian
kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat
dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
tersebut memperjuangkan kepentingan anggotanya baik kepenting yang bersipat
idiil maupun materiil
Pengertian Partai politik secara normatif di
muat dalam berbagai peraturuan keparataian yang ada dan pernah ada. Dalam
Undang-undang kepartaian yang baru yakni Undang-undang Nomor 2 tahun 1999,
Partai politik dirumuskan sebagai berikut : “….Partai politik adalah setiap
organisasi yang dibentuk oleh warganegara Republik Indonesia secara suka rela
atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya
maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum”.
Dalam lietratur politik, kita juga mengenal yang
namanya kelompok kepentingan atau intrest group dan kelompok penekan atau
pressure group. Kedua kelompok ini meski memperjuangkan kepentingan kelompoknya
tetapi mereka tidak dapat kata sebagai partai politik. Kelompok Kepentingan
adalah merupakan suatu organisasi yang terdiri dari kelompok individu yang
mempunyai kepentingan-kepentingan, tujuan –tujuan, keinginan-keinginan yang
sama, dan mereka melakukan kerja sama untuk mempengaruhi kebijaksanaan
pemerintahan demi tercapainya kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan dan
keinginan-keinginan tadi. Perbedaan kedua antara partai politik dengan kelompok
kepentingan adalah bahwa
Partai Politik berusaha untuk memperoleh
kekuasaan yang pada giliranya akan dipergunakan untuk mengendalikan/mengontrol
jalannya roda pemerintahan dalam usahanya merealisir atau mewujudkan
program-program yang telah ditetapkan. è Kelompok Kepentingan hanya berusaha
untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dalam rangka agar dapat terpenuhi
kepentingan-kepentingan atau mencegah kebijaksanaan Pemerintahan yang mungkin
dapat merugikannya dan dalam waktu yang sama kelompok kepentingan tidak
berusaha untuk memperoleh jabatan publik.
Fungsi
Partai Politik
ada beberapa macam fungsi dari partai politik ,
yaitu :
Partai
politik sebagai sarana komunikasi politik.
- Dalam menjalankan fungsi ini, Partai politik menghimpun berbagai masukan ,ide dari berbagai lapisan masyarakat. Asfirasi ini kemudian digabungkan. Proses penggabungan ini sering disebut sebagai “penggabungan kepentingan” (intres aggregation). Setelah berbegai gagasan, ide , kepentingan tersebut digabungkan , selanjutnya berebagai kepentingan tersebut disusun dan rumuskan secarat sistematik dan teratur, proses ini sering disebut dengan perumusan kepentingan (articulation Intrest). Rumusan tersebut kemudian di jadikan propram partai yang akan di perjuangkan dan disampaikan kepada pemerintah untuk dijadikan suatu kebijakan umum.
Selain
komunikasi yang demikian, partai politik juga berperan sebagai wadah untuk menyebarluaskan
kebijakan pemerintah dan mendiskusikannya. Dengan demikian terjadi dialog baik
dari bawah keatas maupun dari atas kebawah. Peran yang demikian , menempatkan
partai politik sebagai perantara atau penghubung antara masyarakat dengan
pemerintah dalam suatu ide-ide atau gagasan gagasan.
2. Partai politik berfungsi sebagai
sarana sosialisasi politik. Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai sebagai
proses dimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena
politik yang umumnya berlaku dalam masyrakat dimana ia berada. Biasanya proses
sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kecil hingga ia dewasa.
Disamping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat
menyampaikan norma-norma dan nialai-nilai adri satu generasi ke generasi
berikutunya.
Dalam
hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi
politik . Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan pemilu, parati
memerlukan dukungan massa. Untuk itu partai menciptalan “imege” bahwa ia
memperjuangkan kepentingan umum. Disamping menenmkan solidaritas dengan partai
, partai politik juga mendidik anggotanya menjadi manusia yang sadar akan
tanggung jawabnya sebagai warganegara dan menempatkan kepentingan sendiri
dibawah kepentingan nasional .
Di
negara-negara baru, partai politik juga berperan untuk memupuk identitas
nasional dan itegritas nasional. Proses sosialisasi politik diselenggarakan
melalui ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader dan lainnya.
3. Partai Politik sebagai
sarana recriutment politik Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan
mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai
anggota partai . Dengan demikian partai turut memperluas memperluas partisifasi
politik . Caranya ialah melalui kontak pribadi , persuasi dsn lain-lain. Juga
di usahakan untuk menarik golongan muda untuk didik menjadi kader partai yang
dimasa mendatang menggantikan pimpinan lama.
4. Partai politik sebagai
sarana pengatur konflik. Dalam suasana demokratis , persaingan dan perbedaan
pendapat dalam masyarakat adalah maslah yang wajar , jika terjadi konflik ,
partai politik berusaha mengatasinya. Fungsi partai politik secara normatif
dirumusakan dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1999 sebagai berikut : ¨ Partai
politik berfungsi : ¨ Melaksanakan pendidikan politik dengan menumbuhkan dan
mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara; ¨ Menyerap,menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan
masyarakat dalam pembuatan kebijaksanaan negara melalui mekanisme badan-badan
permusyawaratan / perwakilan rakyat; ¨ Mempersiapkan anggota masyarakat untuk
mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi.
2.4. Struktur – Struktur
Politik Informal di Luar Partai Politik
Struktur – struktur politik informal seperti media
massa, kelompok – kelompok berbasis agama, LSM atau NGO, dan asosiasi profesi
telah menunjukkan eksistensinya dalam sistem politik setelah selama kurang
lebih 32 tahun ditekan oleh pemerintah. Bahkan, struktur – struktur politik
informal tersebut telah memainkan peran penting dalam melakukan artikulasi
kepentingan dan memberikan input yang berharga bagi sistem
politik ketika struktur politik formal mengalami kemandegan dan gagal memainkan
fungsi yang seharusnya mereka laksanakan. Dengan kata lain, ketika partai
politik gagal melaksanakan fungsinya dalam menggalang dan melembagakan
partisipasi politik, misalnya, kelompok – kelompok informal ini menggantikan
peran partai politik dengan memobilisasi dukungan dan terlibat aktif dalam
memengaruhi kebujakan – kebijakan publik. Dalam kaitan ini, terdapat banyak
kebijakan pemerintah yang akhirnya urung dilaksanakan sebagai akibat tekanan
yang terus – menerus dari struktur – struktur informal ini.
Media
massa, misalnya, telah memainkan peran dalam melakukan sosialisasi politik dan
komunikasi politik. Kemampuannya dalam menggalang opini publik telah membuatnya
menjadi kekuatan demokrasi yang penting dalam beberapa tahun belakangan.
Diberlakukanya UU No. 40 tahun 1999 telah
membuatnya mampu berperan sebagai salah satu pilar demokrasi yang penting.
Meskipun di antara pengamat menaruh keprihatinan yang mendalam sebagai akibat
kiprah media massa dalam menggalang opini publik yang menyesatkan, tetapi
fungsinya yang penting dalam komunikasi dan sosialisasi politik tidak dapat
diragukan lagi. Media massa baik cetak ataupun elektronik telah secara intensif
memberitakan berbagai persoalan masyarakat, mulai dari korupsi, kemiskinan,
penyebaran penyakit flu burung, busung lapar, dan
meluasnya kemiskinan dan pengangguran telah menjadi input penting
bagi sistem politik. Sementara pada waktu bersamaan, media massa telah
menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai berbagai tindakan dan kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Beberapa tindakan dan kebijakan pemerintah
yang disampaikan oleh media massa tersebut memeancing diskusi publik selama
berhari – hari hingga berbulan – bulan.
Kalangan LSM atau sering juga disebut sebagai NGO
atau CSO juga telah menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan pada era
reformasi. Pada masa Orde Baru, LSM telah menjadi salah satu kekuatan sosial
yang penting dalam melakukan kritik terhadap pemerintah ketika kekuatan –
kekuatan lain dalam masyarakatdiam sebagai akibat represi pemerintahan Orde
Baru secara brutal. Dalam artikel yang diberi judul, “Indonesia Flexible NGO vs
Inconsistent State Control”, Yumiko Sakai mengemukakan bahwa pada era tahun
1970 – an NGO mulai melakukan kegiatan dengan sungguh – sungguh, dan ini karena
setidaknya empat alasan, pertama, meningkatnya kemiskinan di daerah urban dan
daerah pedesaan, kedua, perubahan lingkungan politik domestik pada era tahun
1970 – an, ketiga, keberadaan kelompok – kelompok strategis masyarakat sebagai pemimpin,
keempat, aliran dan bantuan finansial dari komunitas – komunitas internasional.
Saat ini tidak kurang dari 12.000 NGO yang tercatat di seluruh Indonesia.
Pada era reformasi, LSM ini semakin mengakar dalam
masyarakat dengan perhatian yang beragam. Beberapa di antaranya menaruh
perhatian di bidang demokrasi, globalisasi, good governance,
pemberdayaan konsumen, media, pertanian, isu – isu lingkungan hidup, korupsi,
pemberdayaan perempuan, penyelamatan hewan, penegakan hukum dan lain
sebagainya. Mereka terlibat aktif memengaruhi kebijakan publik berkenaan dengan
bidang – bidang yang mereka tekuni. Mereka terlibat dalam lobi – lobi politik
di DPR dan pemerintah agar kepentigan mereka dilindungi dan tujuan – tujuan
mereka tercapai melalui sistem politik.
Kekuatan
politik LSM ini menjadi signifikan tatakala mereka mempunya jaringan – jaringan
internasional. Biasanya mereka dibiayai oleh lembaga – lembaga donor
internasional, dan tidak sedikit diantaranya mempu menggalang opini publik
tidak saja di tingkat lokal, tetapi juga nasional dan inernasional. LSM – LSM
yang menaruh perhatian dalam pemberdayaan perempuan dan anti kekerasan
domestik, misalnya secara aktif melakukan lobi terhadap struktur – struktur
politik formal ketika kebijakan pemerintah dianggap mengancam kelompok –
kelompok yang mereka perjuangkan. Meskipun tidak semua LSM mempunyai perilaku
dan tabiat yang baik sebagaimana dikeluhkan oleh beberapa pihak, tetapi
eksistensi mereka sangat penting dalam konteks artikulasi kepentingan sebagai
bagian masyarakat sipil yang otonom. Diharapkan, kemunculan kelompok – kelompok
LSM ini mendorong partisipasi rakyat dalam skala yang lebih luas dalam proses
pembuatan, implementasi, dan evaluasi kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah.
Asosiasi
– asosiasi profesi juga mempunyai peran tidak kalah pentingnya dalam proses
artikulasi kepentingan. Pada masa Orde Baru, lembaga asosiasi profesi semacam
ini telah menjadi alat korporatisme negara yang relatif efektif dalam
mengontrol masyarakat, terutama anggota – anggota profesi. Untuk itu, bagi
asosiasi profesi tidak diizinkan mempunyai asosiasi di luar yang direstui oleh
pemerintah. Sebagai akibatnya, asosiasi – asosiasi profesi semacam ini bukannya
memperjuangkan kepentingan profesi dan anggota – anggotanya, tetapi malahan
ditujukan untuk membungkam aspirasi yang barangkali berkembang dalam asosiasi.
Kondisi
di atas telah banyak mengalami perubahan sejak reformasi dicanangkan tahun
1998. Para professional didizinka untuk mendirikan organisasi profesi sesuai dengan
yang mereka inginkan, dan setiap profesi tidak harus hanya terdiri dari satu
asosiasi profesi. Oleh karena itu, pada era sekarang ini, kita dapat, misalnya,
menemukan lebih dari satu organisasi wartawan di seluruh Indonesia. Padahal,
pada masa Orde Baru, hanya PWI yang direstui oleh pemerintah dan dengan
demikian menjadi satu – satunya asosiasi yang syah bagi para wartawan.
Proses
demokratisasi telah membuat organisasi – organisasi ini berani menyuarakan hak
– haknya. PGRI sebagai salah satu organisasi guru yang berdiri sejak
pemerintahan Orde Baru telah menyuarakan hak – hak guru. Bahkan, mereka berani
melakukan boikot dalam bentuk “mogok mengajar” ketika kebijakan pemerintah
dirasa merugikan kepentingan – kepentingan mereka. Organisasi – organisasi lain,
semacam organisasi petani juga melakukan hal yang kurang lebih sama. Bahkan,
asosiasi kepala desa saluruh Indonesia berani mendatangi pemerintah pusat untuk
memperjuangkan hak-haknya. Keseluruhan fenomena ini mengindikasikan bahwa
lembaga – lembaga politik informal telah mempunyai peran penting dalam sistem
politik demokrasi. Mereka terlibat dalam proses artikulasi dan agregasi
kepentingan yang menjadi input penting sistem politik. Namun
sayangnya, rendahnya responbilitas sistem politik membuat artikulasi dan
agregasi kepnetingan ini berujung pada anarkisme massa.
No comments:
Post a Comment