Cerita sage :
Caadara : cerita rakyat dari
Irian Jaya
Suatu
saat, hiduplah seorang panglima perang bernama Wire. Ia tinggal di desa
Kramuderu. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Caadara.
Sejak kecil Caadara dilatih ilmu perang dan bela diri oleh ayahnya. Wire berharap, kelak anaknya bisa menggantikannya sebagai panglima perang yang tangguh.
Sejak kecil Caadara dilatih ilmu perang dan bela diri oleh ayahnya. Wire berharap, kelak anaknya bisa menggantikannya sebagai panglima perang yang tangguh.
Tahun
berganti. Caadara tumbuh menjadi pemuda yang gagah. Caadara juga tangkas dan
cakap. Wire ingin menguji kemampuan anaknya. Karena itulah ia menyuruh pemuda
itu berburu di hutan.Caadara mengumpulkan teman-temannya. Lalu mereka berangkat
berburu. Mereka berjalan melewati jalan setapak dan semak belukar. Di hutan
mereka menemui banyak binatang. Mereka berhasil menombak beberapa binatang.
Dari
hari pertama sampai hari keenam, tak ada rintangan yang berarti untuk Caadara
dan anak buahnya. Tapi esok harinya mereka melihat anjing pemburu. Kedatangan
anjing itu menandakan bahaya yang akan mengancam.
Caadara dan anak buahnya segera siaga. Mereka menyiapkan busur, anak panah, kayu pemukul, dan beberapa peralatan perang. Mereka waspada.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras. Sungguh menakutkan! Anak buah Caadara ketakutan. Tapi Caadara segera menyuruh mereka membuat benteng pertahanan. Mereka menuju tanah lapang berumput tinggi. Tempat itu penuh semak belukar. Di sana mereka membangun benteng untuk menangkis serangan musuh.
Tiba-tiba muncullah 50 orang suku Kuala. Mereka berteriak dan menyerang Caadara dan anak buahnya. Tongkat dan tombak saling beradu. Sungguh pertempuran yang seru. Caadara tidak gentar. Ia memimpin pertempuran dengan semangat tinggi. Padahal jumlah anak buahnya tak sebanding dengan jumlah musuh.
Caadara dan anak buahnya segera siaga. Mereka menyiapkan busur, anak panah, kayu pemukul, dan beberapa peralatan perang. Mereka waspada.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras. Sungguh menakutkan! Anak buah Caadara ketakutan. Tapi Caadara segera menyuruh mereka membuat benteng pertahanan. Mereka menuju tanah lapang berumput tinggi. Tempat itu penuh semak belukar. Di sana mereka membangun benteng untuk menangkis serangan musuh.
Tiba-tiba muncullah 50 orang suku Kuala. Mereka berteriak dan menyerang Caadara dan anak buahnya. Tongkat dan tombak saling beradu. Sungguh pertempuran yang seru. Caadara tidak gentar. Ia memimpin pertempuran dengan semangat tinggi. Padahal jumlah anak buahnya tak sebanding dengan jumlah musuh.
Caadara
berhasil merobohkan banyak musuh. Sedangkan musuh yang tersisa melarikan diri.
Betapa
kagumnya teman-teman Caadara melihat anak panglima perang Wire. Mereka segan
dan kagum padanya. Mereka pulang sambil mengelu-elukan Caadara.Kampung gempar
dibuatnya. Wire sungguh bangga. Ia juga terharu sehingga berlinang air mata.
Tak sia-sia latihan yang diberikan pada Caadara.
Kampung
gempar mendengarnya. Ayahnya terharu dan berlinang air mata. Pesta malam hari
pun diadakan. Persiapan menyerang suku Kuala pun diadakan, karena mereka telah
menyerang Caadara.
Esok
harinya, Caadara diberi anugerah berupa kalung gigi binatang, bulu kasuari yang
dirangkai indah, dengan bulu cendrawasih di tengahnya.Kemudian masyarakat desa
mempelajari Caadara Ura, yaitu taktik perang Caadara. Taktik itu berupa
melempar senjata, berlari, menyerbu dengan senjata, seni silat jarak dekat, dan
cara menahan lemparan kayu. Nama Caadara kemudian tetap harum. Ia dikenal
sebagai pahlawan dari desa itu
Cerita Mite
atau mitos
*Anak gadis dilarang keras makan di depan
pintu, katanya bisa batal dilamar orang alias balik kucing. (ini mitosnya).
Kalau dipikir-pikir memang tidak pantas makan di depan pintu, fungsi pintu
hanya untuk jalan keluar masuk saja. Kalau memang makan ya di ruang makan atau
di tempat yang layak untuk makan. Hubungan dengan yang nglamar balik lagi apa
ya ? otomatis balik, semua cowok pasti pengen calon istri yang punya sopan
santun, lah kalau makannya di depan pintu dan berdiri pasti ilfeel (ntar
disangka kuda, kan makannya kuda berdiri). Karena itu ga jadi nglamar.
* Mitos lain, calon pengantin perempuan dilarang keras keramas ketika dekat hari H kenapa ? katanya supaya tidak turun hujan deras ketika resepsi berlangsung yang bisa mengacaukan acara. Masuk akal tidak ya ? keramas dan hujan ? logikanya kenapa calo pengantin perempuan dilarang membasahi rambutnya (keramas) karena kata penata rias pengantin, kalau rambut yang akan disanggul itu di keramasi maka tekstur rambut jadi halus dan lembek ini menyulitkan si penata rambut memasang sanggul. Jadi ketika hari H si calon pengantin tidak boleh keramas supaya lebih mudah disasak dan dipasang sanggul. (kalau aku mah kerudungan aja pas nikah, biar bisa keramas sesukaku hehehe) urusan hujan cuekin aja, cari bulan nikahnya dimusim kemarau biar ga keujanan.
Fabel
Kelinci dan Kura-Kura
Di sebuah hutan kecil di pinggir desa ada seekor kelinci yang sombong.
Dia suka mengejek hewan-hewan lain yang lebih lemah. Hewan-hewan lain seperti
kura-kura, siput, semut, dan hewan-hewan kecil lain tidak ada yang suka pada
kelinci yang sombong itu. Suatu hari, si kelinci berjalan dengan angkuhnya
mencari lawan yang lemah untuk diejeknya. Kebetulan dia bertemu dengan
kura-kura.
“Hei, kura-kura, si lambat, kamu jangan jalan aja dong, lari begitu,
biar cepat sampai.”
“Biarlah kelinci, memang jalanku lambat. Yang penting aku sampai dengan
selamat ke tempat tujuanku, daripada cepat-cepat nanti jatuh dan terluka.”
“Hei kura – kura, bagaimana kalau kita adu lari? Kalau kau bisa menang,
aku akan beri hadiah apapun yang kau minta!”
Padahal di dalam hati kelinci berkata, “Mana mungkin dia akan bisa
mengalahkanku?”
Kura-kura menjawab, “Wah, kelinci mana mungkin aku bertanding adu cepat
denganmu, kamu bisa lari dan loncat dengan cepat, sedangkan aku berjalan
selangkah demi selangkah sambil membawa rumahku yang berat ini.”
Kelinci menjawab lagi, “Nggak bisa, kamu nggak boleh menolak tantanganku
ini! Pokoknya besok pagi aku tunggu kau di bawah pohon beringin. Aku akan
menghubungi Serigala untuk menjadi wasitnya.”
Kura-kura hanya bisa diam melongo. Di dalam hatinya berkata, “Mana
mungkin aku bisa mengalahkan kelinci?”
Keesokan harinya si Kelinci menunggu dengan sombongnya di bawah pohon
beringin. Serigala juga sudah datang untuk menjadi wasit. Setelah Kura-kura
datang Serigala berkata.
“Peraturannya begini, kalian mulai dari pohon garis di sebelah sana yang
di bawah pohon mangga itu. Kalian bisa lihat?”
Kelinci dan kura-kura menjawab, “Bisa!”
“Nah siapa yang bisa datang duluan di bawah pohon beringin ini, itulah
yang menang.” Oke, satu, dua, tiga, mulai!”
Kelinci segera meloncat mendahului kura-kura, yang mulai melangkah pelan
karena dia tidak bisa meninggalkan rumahnya.
“Ayo kura-kura, lari dong!” Baiklah aku tunggu disini ya.”
Kelinci duduk sambil bernyanyi. Angin waktu itu berhembus pelan dan
sejuk, sehingga membuat kelinci mengantuk dan tak lama kemudian kelinci pun
tertidur. Dengan pelan tapi pasti kura-kura melangkah sekuat tenaga. Dengan
diam-diam dia melewati kelinci yang tertidur pulas. Beberapa langkah lagi dia
akan mencapai garis finish. Ketika itulah kelinci bangun. Betapa terkejutnya
dia melihat kura-kura sudah hampir mencapai finish sekuat tenaga dia berlari
dan meloncat untuk mengejar kura-kura. Namun sudah terlambat, kaki kura-kura
telah menyentuh garis finish dan pak serigala telah memutuskan bahwa
pemenangnya adalah kura-kura. Si kelinci sombong terdiam terhenyak, seolah tak
percaya bahwa dia bisa tertidur. Jadi siapa pemenangnya tentu saja kura-kura.
Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai
wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak
laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga yang
memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang
dengan mengarungi lautan yang luas. Maka tinggallah si Malin dan ibunya di
gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah 1 tahun
lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga
ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya.
Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. "Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata. Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tibatiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu. Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang.
Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya. Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak.
Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya. Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
HIKMAH: Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orangtua terutama kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya.
Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. "Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata. Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tibatiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu. Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang.
Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya. Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak.
Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya. Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
HIKMAH: Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orangtua terutama kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak.
Dogeng Aji Saka
Dahulu kala,
ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama
Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja
memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari
rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Di dusun Medang
Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan baik hati.
Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli
oleh dua orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji Saka
itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan
Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan
mengenakan serban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan.
Perjalanan
menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh hari
tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan
budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati
hutan itu.
Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya.
Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya.
Aji Saka tiba
di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka
karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.
Dengan berani,
Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk disantap
oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya.
Saat mereka
sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus memanjang
sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah
setelah mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri
kelalimannya.
Ketika Prabu
Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang Prabu.
Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian
hilang ditelan ombak.
Aji Saka
kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke
istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan
Kerajaan Medang Kamulan ke jaman keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang,
damai, makmur dan sejahtera.
Dongeng Si Kabayan - Cerita Rakyat Sunda (Jawa Barat)
Tersebutlah seorang lelaki di tanah Pasundan pada masa
lampau. Si Kabayan namanya. Ia lelaki yang pemalas namun memiliki banyak akal.
Banyak akal pula dirinya meski akalnya itu kerap digunakannya untuk mendukung
kemalasannya. Si Kabayan telah beristri. Nyi Iteung nama istrinya.
Pada suatu hari Si Kabayan disuruh mertuanya untuk
mengambil siput-siput sawah. Si Kabayan melakukannya dengan malas-malasan.
Setibanya di sawah, ia tidak segera mengambil siput-siput sawah yang banyak
terdapat di sawah itu, melainkan hanya duduk-duduk di pematang sawah.
Lama ditunggu tidak kembali, mertua Si Kabayan pun
menyusul ke sawah. Terperanjatlah ia mendapati Si Kabayan hanya duduk di
pematang sawah. "Kabayan! Apa yang engkau lakukan? Mengapa engkau tidak
segera turun ke sawah dan mengambil tutut-tutut (Siput) itu?"
"Abah-abah (Bapak), aku takut turun ke sawah
karena sawah ini sangat dalam. Lihatlah, Bah, begitu dalamnya sawah ini hingga
langit pun terlihat di dalamnya," jawab Si Kabayan.
Mertua Si Kabayan menjadi geram. Didorongnya tubuh Si
Kabayan hingga menantunya itu terjatuh ke sawah.
Si Kabayan hanya tersenyum-senyum sendiri seolah tidak
bersalah. "Ternyata sawah ini dangkal ya, Bah?" katanya dengan senyum
menyebalkannya. Ia pun lantas mengambil siput-siput sawah yang banyak terdapat
di sawah itu.
Pada hari yang lain mertua Si Kabayan menyuruh Si
Kabayan untuk memetik buah nangka yang telah matang. Pohon nangka itu tumbuh di
pinggir sungai dan batangnya menjorok di atas sungai. Si Kabayan sesungguhnya
malas untuk melakukannya. Hanya setelah mertuanya terlihat marah, Si Kabayan
akhirnya menurut. Ia memanjat batang pohon. Dipetiknya satu buah nangka yang
telah masak. Sayang, buah nangka itu terjatuh ke sungai. Si Kabayan tidak
buru-buru turun ke sungai untuk mengambil buah nangka yang terjatuh.
Dibiarkannya buah nangka itu hanyut.
Mertua Si Kabayan terheran-heran melihat Si Kabayan
pulang tanpa membawa buah nangka. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan
raut wajah jengkel. "Mana buah nangka yang kuperintahkan untuk
dipetik?"
Dengan wajah polos seolah tanpa berdosa, Si Kabayan
menukas, "Lho? Bukankah buah nangka itu tadi telah kuminta untuk berjalan
duluan? Apakah buah nangka itu belum juga tiba?"
"Bagaimana
maksudmu, Kabayan?"
"Waktu kupetik, buah nangka itu jatuh ke sungai.
Rupanya ia ingin berjalan sendirian. Maka, kubiarkan ia berjalan dan kusebutkan
agar ia lekas pulang ke rumah. Kuperingatkan pula agar ia segera membelok ke
rumah ini. Dasar nangka tua tak tahu diri, tidak menuruti perintahku
pula!"
"Ah, itu hanya alasanmu yang mengada-ada saja,
Kabayan!" mertua Si Kabayan bersungut-sungut. "Bilang saja kalau kamu
itu malas membawa nangka itu ke rumah!"
Si Kabayan hanya tertawa-tawa meski dimarahi
mertuanya.
Pada waktu yang lain mertua Si Kabayan mengajak
menantunya yang malas lagi bodoh itu untuk memetik kacang koro di kebun. Mereka
membawa karung untuk tempat kacang koro yang mereka petik. Baru beberapa buah
kacang koro yang dipetiknya, Si Kabayan telah malas untuk melanjutkannya. Si
Kabayan mengantuk. Ia pun lantas tidur di dalam karung.
Ketika azan Dhuhur terdengar, mertua Si Kabayan
menyelesaikan pekerjaannya. Ia sangat keheranan karena tidak mendapati Si
Kabayan bersamanya. "Dasar pemalas!" gerutunya. "Ia tentu telah
pulang duluan karena malas membawa karung berisi kacang koro yang berat!"
Mertua Si Kabayan terpaksa menggotong karung berisi Si
Kabayan itu kembali ke rumah. Betapa terperanjatnya ia saat mengetahui isi
karung yang dipanggulnya itu bukan kacang koro, melainkan Si Kabayan!
"Karung ini bukan untuk manusia tapi untuk kacang
koro!" omel mertua Si Kabayan setelah mengetahui Si Kabayan lah yang
dipanggulnya hingga tiba di rumah.
Keesokan harinya mertua Si Kabayan kembali mengajak
menantunya itu untuk ke kebun lagi guna memetik kacang-kacang koro. Mertua Si
Kabayan masih jengkel dengan kejadian kemarin. Ia ingin membalas dendam pada Si
Kabayan. Ketika Si Kabayan sedang memetik kacang koro, dengan diam-diam mertua
Si Kabayan masuk ke dalam karung dan tidur. Ia ingin Si Kabayan memanggulnya
pulang seperti yang diperbuatnya kemarin.
Adzan Dhuhur terdengar dari surau di kejauhan. Si
Kabayan menghentikan pekerjaannya. Dilihatnya mertuanya tidak bersamanya.
Ketika ia melihat ke dalam karung, ia melihat mertuanya itu tengah tertidur.
Tanpa banyak bicara, Si Kabayan lantas mengikat karung itu dan menyeretnya.
Terperanjatlah mertua Si Kabayan mendapati dirinya
diseret Si Kabayan. Ia pun berteriak-teriak dari dalam karung, "Kabayan!
Ini Abah! Jangan engkau seret Abah seperti ini!"
Namun, Si Kabayan tetap saja menyeret karung berisi
mertuanya itu hingga tiba di rumah. Katanya seraya menyeret, "Karung ini
untuk tempat kacang koro, bukan untuk manusia.”
Karena kejadian itu mertua Si Kabayan sangat marah
kepada Si Kabayan. Ia mendiamkan Si Kabayan. Tidak mau mengajaknya berbicara
dan bahkan melengoskan wajah jika Si Kabayan menyapa atau mengajaknya bicara.
Ia terlihat sangat benci dengan menantunya yang malas lagi banyak alasan itu.
Si Kabayan menyadari kebencian mertuanya itu
kepadanya. Bagaimanapun juga ia merasa tidak enak diperlakukan seperti itu. Ia
lantas mencari cara agar mertuanya tidak lagi membenci dirinya. Ditemukannya
cara itu. Ia pun bertanya pada istrinya perihal nama asli mertuanya.
"Mengetahui nama asli mertua itu pantangan,
Akang!" kata Nyi Iteung memperingatkan. "Bukankah Akang sudah tahu
masalah ini?"
Si Kabayan berusaha membujuk. Disebutkannya jika ia
hendak mendoakan mertuanya itu agar panjang umur, selalu sehat, murah rejeki,
dan jauh dari segala mara bahaya. "Jika aku tidak mengetahui nama Abah,
bagaimana nanti jika doaku tidak tertuju kepada Abah dan malah tertuju kepada
orang lain?"
Nyi Iteung akhirnya bersedia memberitahu jika suaminya
itu berjanji untuk tidak menyebarkan rahasia itu. katanya, "Nama Abah yang
asli itu Ki Nolednad. Ingat, jangan sekali-kali engkau sebutkan nama Abah itu
kepada siapa pun!"
Setelah mengetahui nama ash mertuanya, Si Kabayan
lantas mencari air enau yang masih mengental. Diambilnya pula kapuk dalam
jumlah yang banyak. Si Kabayan menuju lubuk, tempat mertuanya itu biasa mandi.
Ia lantas membasahi seluruh tubuhnya dengan air enau yang kental dan
menempelkan kapuk di sekujur tubuhnya. Si Kabayan kemudian memanjat pohon dan
duduk di dahan pohon seraya menunggu kedatangan mertuanya yang akan mandi.
Ketika mertuanya sedang asyik mandi, Si Kabayan lantas
berseru dengan suara yang dibuatnya terdengar lebih berat, "Nolednad!
Nolednad!"
Mertua Si Kabayan sangat terperanjat mendengar namanya
dipanggil. Seketika ia menatap arah sumber suara pemanggilnya, kian
terperanjatlah ia ketika melihat ada makhluk putih yang sangat menyeramkan pada
pandangannya. "Si siapa engk ... engkau itu?" tanyanya terbata-bata.
"Nolednad, aku ini Kakek penunggu lubuk
ini." kata Si Kabayan. "Aku peringatkan kepadamu Nolednad, hendaklah
engkau menyayangi Kabayan karena ia cucu kesayanganku. Jangan berani-berani
engkau menyia-nyiakannya. Urus dia baik-baik. Urus sandang dan pangannya. Jika
engkau tidak melakukan pesanku ini, niscaya engkau tidak akan selamat!"
Mertua Si Kabayan sangat takut mendengar ucapan 'Kakek
penunggu lubuk' itu.Ia pun berjanji untuk melaksanakan pesan 'Kakek penunggu
lubuk' itu.
Sejak saat itu mertua Si Kabayan tidak lagi membenci
Si Kabayan. Disayanginya menantunya itu. Dicukupinya kebutuhan sandang dan
pangan Si Kabayan. Bahkan, dibuatkannya pula rumah, meski kecil, untuk tempat
tinggal menantunya tersebut.
Setelah mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari
mertuanya, Si Kabayan juga sadar akan sikap buruknya selama itu. Ia pun
mengubah sikap dan perilakunya. Ia tidak lagi malas-malasan untuk bekerja. Ia
pun bekerja sebagai buruh. Kehidupannya bersama istrinya membaik yang membuat
istrinya itu bertambah sayang kepadanya. Si Kabayan juga bertambah sayang
kepada Nyi Iteung seperti sayangnya kepada mertuanya yang tetap baik perlakuan
terhadapnya. Mertuanya tetap menyangka Si Kabayan sebagai cucu 'Kakek penunggu
lubuk'. Ki Nolednad sangat takut untuk memusuhi atau menyia-nyiakan Si Kabayan
karena takut tidak akan selamat dalam hidupnya seperti yang telah dipesankan
'Kakek penunggu lubuk'!
No comments:
Post a Comment