Kisah orang sukses pengusaha KUE
Biografi Nazliana Lubis
Bisnis kuliner
tak pernah ada matinya melahirkan pengusaha- pengusaha wahid. Salah satunya
ialah seorang wanita bernama Nazliana Lubis, pengusaha aneka kue di Medan,
Sumatra Utara. Berkat kerja keras juga ditambah ketekunan jadilah bisnisnya
tumbuh. Dia berhasil mengembangkan usaha kecilnya dari sebuah toko kue kecil
jadi bisnis ratusan juta rupiah. Salah satu andalahan tokonya yang selalu habis
yaitu cake pisang. Nazwa kemudian memberinya nama Blondi Pisang Barangan.
Toko kue ini
milik Nazalina atau kerap dipanggil Nazwa yang di Jl. Kapten Muchtar Basri No.
110, Medan itu cukup kondang di Sumatra Utara. Beberapa hotel berbintang di
Medan sudah menjadi pelanggan tetap, seperti Hotel JW Marriot, Hotel Ina
Dharmadeli, Hotel Tiara, Hotel Danau Toba, dan Madani Hotel. Hotel- hotel
tersebut memesan sedikitnya 500 potong sekali acara saja. "Padahal, saban
hari, satu hotel bisa menyelenggarakan sampai tiga kali event,"
jelasnya.
Bukan hanya
hotel, Nazwa juga rutin mendapat pesanan dari beberapa bank, perusahaan swasta,
sekolah, dan instansi pemerintah di Sumatra Utara. Ia sekarang bisa
menghabiskan 3.000 telur dan 8 karung tepung atau sekitar 200 kilogram
(kg) tepung per hari. Selain kue ternyata tokonya juga melayani pemesanan nasi
boks. Perusahaan atau pemda biasanya memesan 1.000 hingga 1.800 nasi boks.
Sebelum sibuk berjualan kue wanita berkerudung lulusan D3 Pariwisata Universitas Sumatra Utara tahun 1989 ini, sempat bekerja di bagian tiketing di sebuah biro perjalanan selama tiga tahun. Tahun 1991, dia lalu pindah ke perusahaan maskapai penerbangan Simpati. Jabatan terakhirnya, supervisor. "Kerja di perusahaan penerbangan itu memiliki gengsi tersendiri. Saya punya kesempatan untuk jalan-jalan ke berbagai daerah," kata perempuan kelahiran Medan, 23 Januari 1965 ini.
Kisah Sukses Erwin Nalfa dengan Bisnis Bakso Ayu
Erwin Nalfa (34) patut
diajungi jempol, pria asal kampung Rime Raya Kecamatan Timang Gajah Kabupaten
Bener Meriah dalam menguji peruntungan dengan berjualan bakso di Kampung
Kayukul Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah di akhir tahun 2001 lalu maju
pesat berkat keuletannya.
Kesuksesan yang
diraih Erwin dengan merk dagang “Bakso Ayu” saat ini bukanlah
mulus-mulus saja tanpa masalah, akan tetapi suami dari Nurmala (33) harus
melewati perjuangan yang begitu sulit bagi diri dan keluarganya.
Berawal dari pekerjaannya
sebagai pekerja di Balai Benih Ikan (BBI) yang terletak di Kampung Simpang
Kelaping Kecamatan Pegasing Aceh Tengah, merasa penghasilannya tak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sangat dengan terpaksa dirinya harus
mencari alternatif pekerjaan sampingan.
Dengan kurangnya
keahlian yang dimiliki, Erwin terpaksa memulai dengan menjual
bakso keliling. Namun keyakinananya untuk sukses, membuat Erwin tidak berhenti
mengasah kemampuan dan keterampilan dalam mengolah pangan yang berbentuk bulat
ini. Dibantu sang istri Nurmala yang juga sebagai tempat curhat Erwin dalam
mengarungi getirnya hidup sehari-hari.
Dengan kesabaran
dan penuh rasa cinta kasih membuat Erwin semakin bekerja
dengan giat. Dengan suatu tekad kelak dirinya akan membahagiakan istri dan
anak-anaknya dengan penghasilan yang cukup. Betapa tidak, awalnya Erwin harus
melewati rintangan hidup yang amat berat, tubuh kecil yang kelihatan kurus itu
harus mendorong gerobak yang berat, gerobak itulah yang dijadikannya sebagai
mata pencahariannya sebagai tukang bakso keliling, demi mencapai mimpinya.
Erwin mengisahkan, bahwa dirinya harus mendorong gerobak itu selama tiga
tahun dari 2003 hingga 2006, banyak hal yang didapati dalam mengarungi
kehidupan itu. Dirinya harus mengetuk-ngetuk mangkuk baksonya sambil berteriak
bakso….bakso…bakso, hingga ada orang yang memanggil untuk membeli baksonya.
“Kegembiraan yang sangat tak
disaat saya dipanggil oleh pembeli,” kisah Erwin sembil menambahkan, dia selalu
melayani para pembeli dengan senyuman walaupun dirinya telah terasa lelah,
karena jarak tempuh jualannya tidaknya dekat.
Rute perjalanan jualan
kelilingnya dimulai dari tempat tinggalnya di BBI Simpang Kelaping lalu menuju
ke Kampung Pedekok, kemudian kembali lagi ke Simpang Kelaping untuk
beristrirahat sejenak dan malanjukannya kembali sampai ke Kayu Mi Kampung
Kayukul, sampai akhirnya dia pulang ke rumahnya.
Akbar
Buchari, Pengusaha Muda Sukses yang Berangkat dari Keterpaksaan
Akbar Bukchari.
Meninggalnya
sang ayah memaksa Akbar Buchari harus belajar bisnis otobus sejak berusia 10
tahun. Teruji setelah ditempa berbagai kendala berat: mulai konflik bersenjata
hingga tsunami.
M. DINARSA KURNIAWAN, Medan
DI
sudut Cangkir Cafe di Jalan D.I. Panjaitan, yang terkenal sebagai tempat hang
out anak-anak muda Medan, Sumatera Utara, seorang lelaki asyik mengobrol dengan
kawannya. Hanya mengenakan t-shirt putih, celana pendek, dan sandal, lelaki 25
tahun itu tampak sangat kasual.
Dialah Akbar Buchari, salah seorang pengusaha muda sukses di Sumatera Utara (Sumut)."Saya baru saja dari lapangan golf, lalu langsung ke sini. Kebetulan tempat ini dekat dengan rumah saya," ujar lelaki kelahiran Medan, 25 November 25 tahun lalu itu.
Dialah Akbar Buchari, salah seorang pengusaha muda sukses di Sumatera Utara (Sumut)."Saya baru saja dari lapangan golf, lalu langsung ke sini. Kebetulan tempat ini dekat dengan rumah saya," ujar lelaki kelahiran Medan, 25 November 25 tahun lalu itu.
Penampilannya saat itu tak berbeda dengan anak-anak muda lain yang sedang nongkrong di tempat tersebut. Padahal, di luar penampilannya itu, Akbar saat ini sudah menjabat komisaris Kurnia Group yang bergerak di bidang transportasi. Kurnia adalah perusahaan otobus (PO) yang melayani rute Sumut sampai ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Perusahaan yang diwarisi Akbar dari ayahnya itu sekarang memiliki armada 250 bus.
Selain itu, sejak 2008 bisnisnya melebar dengan berekspansi di bidang perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Blang Seunong, Aceh Timur. Jumlah lahan yang dimiliki mencapai enam ribu hektare. Bukan hanya itu, Akbar juga melebarkan sayap dengan membuka sebuah hotel bintang tiga di Medan yang diberi nama Hotel Saka. Hotel yang berlokasi di Jalan Gagak Hitam itu akan beroperasi dalam waktu dekat."
"Pemikirannya, banyak penumpang bus saya dari Aceh kesulitan mencari hotel ketika tiba di Medan," urainya. "Jadi, mengapa saya tidak bikin hotel sekalian. Nanti bisa di-bundling sama tiket busnya," sambungnya.
Di luar bisnis keluarga, dia tengah mengembangkan bisnis sendiri. Bersama beberapa kawan pebisnis muda, Akbar masuk ke bisnis properti. Dia mengatakan, bisnis di bidang realestat tengah berkembang pesat di ibu kota Sumut itu. Dibandingkan dengan lelaki seumurnya, Akbar jelas bisa dibilang telah meraih kesuksesan. Namun, sejatinya dia tak bermaksud menjadi pengendali bisnis keluarga di usianya yang masih relatif muda itu.
Wanita Pengusaha: Kisah Sukses Paula Dewi Agustin, Sosok Wanita Penuh Ide
Tulisan kali ini, kita akan
bicarakan seorang tokoh entrepreneur sekaligus tokoh pendidikan dari Medan
Sumatera Utara. Beliau ini kawan saya dulu di SMA 2 Pematang Siantar. Bangga
sekali dengan kawan dekat saya ini, kini menjadi entrepreneur yang kreatif dan
penuh ide. Namanya Paula Dewi Agustin.
Memulai karir sebagai pengajar
di sebuah bimbel, pekerjaannya sejak masih kuliah, kini beliau mempunyai
beberapa usaha berprospek. Ada Paula
Cafe, ada BimBel, Tata rias, hingga pelatihan aritmatika jari yang
diberi nama JCI (Jari Cerdas Indonesia).
Paula Dewi Agustin, Profil Wanita Pengusaha Sukses
Oke kita simak kisah
selanjutnya ya…
Berdasarkan
penelitian sebuah lembaga keuangan nasional, dibandingkan jumlah penduduknya
saat ini jumlah orang kaya di Indonesia tidak sampai dua persen. Hal ini
melecut semangat Paula Dewi Agustin, SKM. untuk menciptakan di dalam satu
keluarga ada satu pengusaha atau one family one entrepreneur.
“Jadi, latar
belakang saya mendirikan berbagai usaha karena ingin menciptakan one family
one entrepreneur,” jelas Paula, Pimpinan Business Assistance
Resources Professional (Basar Pro) Learning Centre Medan itu kepada
kami.
Paula lebih
lanjut mengatakan, di masa mendatang aneka usaha harus diciptakan melalui
wirausaha dan kalangan pengusaha di negeri ini harus melakukan aksi dengan
memanfaatkan tenaga orang lain.
“Saat ini
Indonesia masih tertinggal ekonominya dari beberapa negara di Asia Tenggara,
seperti Malaysia dan Singapura,” jelas wanita yang juga Pimpinan Bimbel PRIMA
QUALITY dan Entrepreneur College Cabang Medan tersebut.
Paula
di Mata saya
Terlahir dari
keluarhga biasa-biasa saja, saya memahami persis bagaimana perjuangan beliau
menyelesaikan sekolah dan membangun hidupnya seperti sekarang ini.
Selalu saja,
saya melihat bahwa untuk menjadi seseorang yang ‘berarti besar’ bagi
lingkungannya, ketekunan dan kerja keras menjadi prasyaratnya. Dan saya melihat
kedua hal tersebut dalam diri Paula, kawan saya ini.
“Tidak ada yang
tidak mungkin selama ALLAH mengizinkan”, katanya ketika aku bertanya bagaimana
mungkin melakukan semua hal ini dalam keterbatasan ekonomi dan permodalan
yang dihadapinya di awal-awal membuka bisnisnya.
Menurutnya,
kunci keberhasilannya sekarang ini adalah kerja keras, tekun, dukungan keluarga
(suami dan anak-anaknya), jaringan yang luas dan tentunya izin ALLAH Subhana
Wata’ala selaku pemilik alam semesta.
Kunci sukses
berikutnya adalah selalu berusaha mengerjakan sesuatu sebaik mungkin.
“Jika kita
telah melakukan yang terbaik yang kita punya, orang akan melihat hasilnya, maka
segera saja tawaran-tawaran kerjasama berdatangan dari berbagai kalangan.
itulah the secret weapon saya”, katanya lagi.
Benar, karena
prestasinya yang baik di pekerjaannya sebagai mentor bimbel, membuat Paula
mendapat kesempatan mendirikan Bimbel sendiri dengan modal dari orang lain
sepenuhnya. Jadi modal uang bukan masalah lagi, kan?
Biografi Sukanto Tanoto - Pengusaha Sukses Indonesia
Sukanto Tanoto yang terlahir dengan nama Tan Kang Hoo
merupakan seorang pengusaha atau konglomerat sukses asal Indonesia yang
pada tahun 2006 di tasbihkan oleh majalah Forbes sebagai orang terkaya di
Indonesia, ia memimpin perusahaan yang bernama PT Raja Garuda Mas yang berbasis
di Singapura yang usahanya di berbagai sektor terutama disektor kertas dan
kelapa sawit sehingga Sukanto Tanoto dijuluki sebagai Si Raja Kertas dan Kelapa
Sawit. Ia merupakan salah satu pengusaha yang berhasil berinvestasi di lebih
dari sepuluh negara di Dunia. Sukanto Tanoto dilahirkan di Belawan, Sumatera
Utara, 25 Desember 1949. Ia mengenyam pendidikan SD di Belawan pada tahun 1960
dan kemudian Masuk SMP di medan pada tahun 1963. Pada usia 12 tahun Sukanto
Tanoto sudah gemar membaca apa saja, termasuk buku tentang revolusi Amerika dan
Perang Dunia
Sukanto Tanoto mengaku sosoknya mirip ibunya yaitu tegas dan keras. Pernah suatu ketika Sukanto kecil ngeluyur pergi ke tepi laut. Waktu pulang, ditanya oleh ibunya, jawabnya mengarang-ngarang, Sukanto kecil dipukuli pakai rotan. “Saya paling banyak makan rotan,” kenangnya tentang sosok sang ibu. Tapi, dengan sifat keras dan tegas, termasuk dalam hal berbisnis, ia bisa menjadi salah seorang pengusaha papan atas Indonesia, memimpin sejumlah perusahaan di bawah grup Raja Garuda Mas Internasional. Sukanto Tanoto bercita-cita jadi dokter. “Kalau dulu saya meneruskan ke fakultas kedokteran, saya jadi dokter,” ujarnya. Karena obsesi itulah, sampai 1973-1974, ia masih senang pakai nama dokter Sukanto. Tapi, saat baru 18 tahun, ayahnya, Amin Tanoto, sakit stroke. Sulung dari tujuh bersaudara ini lalu mengambil alih tanggung jawab keluarga: meneruskan usaha orangtua berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil. Pekerjaan yang tak asing baginya karena sepulang sekolah ia biasa membantu orangtuanya sambil membaca buku. Dan, dari situ Sukanto alias Tan Kang Hoo pertama kali belajar keterampilan bisnis, termasuk menerima kenyataan dan tidak menyerah dalam keadaan apa pun, serta mencari solusi.
Pindah dari kota kelahirannya, Belawan, Sumatra Utara, ke Medan, ia juga berdagang onderdil mobil, lalu mengubah usaha itu menjadi general contractor & supplier. Suatu ketika, datang Sjam, seorang pejabat Pertamina dari Aceh. “Waktu itu saya tidak tahu kalau dia pejabat,” kenang Sukanto. Ditawari kerja sama pekerjaan kontraktor, “Ya, mau-mau saja, wong saya masih muda,” ujarnya. Tak disia-diakan kesempatan itu, di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara, Sukanto membangun rumah, memasang AC, pipa, traktor, dan membuat lapangan golf di Prapat. “Itulah technical school saya,” katanya. Untuk mencari bahan bangunan, ia sampai pergi Sumbawa, Lampung, pada usia 20 tahun.
Pandai melihat peluang, waktu impor kayu lapis dari Singapura menghilang di pasaran, di Medan ia mendirikan perusahaan kayu, CV Karya Pelita, 1972. “Negara kita kaya kayu, mengapa kita mengimpor kayu lapis” ujarnya. “Saya itu pioner,” katanya. Di saat orang lain belum membuat kayu lapis, ia memproduksi kayu lapis dan mengubah nama perusahaannya menjadi PT Raja Garuda Mas (RGM), dengan ia sebagai direktur utama, 1973. Kayu lapis bermerek Polyplex itu diimpor ke berbagai negara Pasaran Bersama Eropa, Inggris, dan Timur Tengah.
“Strategy competition saya itu satu dua step sebelum orang mengerjakannya,” ungkapnya. Ketika belum ada orang membuka perkebunan swasta besar-besaran, walaupun waktu itu sudah ada perkebunan asing, di Sumatra, Sukanto membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
“Setelah itu baru kita bikin Indorayon,” tuturnya. PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang bergerak di bidang reforestation menghasilkan pulp, kertas, dan rayon, serta mampu memasok bibit unggul pohon pembuat pulp di dalam negeri. Kehadiran IIU sempat ditentang masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Karena, ditengarai, Danau Toba tercemar berat oleh limbah pulp. Akibatnya, IIU sempat ditutup.
Tapi, Sukanto memetik hikmahnya: belajar dari kesalahan, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. “Apa yang saya pelajari dari situ (Indorayon), lalu saya pakai di Riau,” ujarnya. Di Riau, ia membuka Hutan Tanaman Industri dan mendirikan pabrik pulp yang konon terbesar di dunia, PT Riau Pulp. Mulai berdiri 1995, karena krisis, baru jadi pada 2001. Di sekitar pabriknya, bersama lembaga swadaya masyarakat, Sukanto membuat program community development untuk penduduk setempat. “Saya tidak kasih ikan, tapi saya ajari mancing, itu yang kita kerjakan,” tuturnya. Antara lain, program community development: penggemukan sapi, pembangunan jalan, dan pertanian. “Mimpi saya, kalau saya dapat seratus pengusaha Riau itu jadi miliader, saya senang,” katanya lagi.
Usaha Sukanto yang lain adalah bank. Ketika United City Bank mengalami kesulitan keuangan, pada 1986-1987, ia mengambil alih mayoritas sahamnya dan bangkit dengan nama baru: Unibank. Di Medan, ia pun merambah bidang properti, dengan membangun Uni Plaza, kemudian Thamrin Plaza. Tidak hanya dalam negeri, ia melebarkan sayap ke luar negeri, dengan ikut memiliki perkebunan kelapa sawit National Development Corporation Guthrie di Mindanao, Filipina, dan electro Magnetic di Singapura, serta pabrik kertas di Cina (yang kini sudah dijual untuk memperbesar PT Riau Pulp). Sejak 1997, Sukanto memilih bermukim di Singapura bersama keluarga dan mengambil kantor pusat di negeri itu. Obsesinya, ingin jadi pengusaha Indonesia yang bersaing di arena global,
minimal di Asia. Tujuan utamanya,
menurut dia, “Bagaimana kita bisa memanfaatkan keunggulan kita, untuk bersaing,
paling tidak di arena Asia.”
Kini, selain bisnis, ia hendak
menulis buku tentang bagaimana entreprenur menghadapi krisis. “Yang mau saya
lakukan itu adalah penelitian bagaimana pengusaha di Eropa itu survive, pada
First World War, Second World War. Bagaimana pengusaha Amerika itu melewati
krisis 1930. Bagaimana pengusaha-pengusaha di Cina, waktu perubahan rezim,
ketika komunis masuk, bagaimana mereka itu survive. Saya juga akan mempelajari
bagaimana pengusaha-pengusaha melalui Latin America krisis, yang di Brasil,”
tuturnya. “Apa krisis itu memunculkan bibit-bibit entreprenur yang baru,”
katanya lagi.
Sampai sekarang Sukanto masih hobi
baca buku. Buku apa saja, baik yang bisnis maupun nonbisnis. “Setiap saya pergi,
saya bawa buku,” katanya. “Kalau naik travel, kalau tidak tidur, ya, baca,”
katanya lagi. Manfaatnya, menurut dia, selain untuk update pengetahuan, juga
membantu sekali dalam binis dan kegiatan sosial sehari-hari. Satu lagi, pria
yang menguasai dua bahasa asing, Cina dan Inggris, ini senang belajar. Ia
pernah mengikuti kursus di Insead, Paris, di MIT, di samping tetap jadi peserta
Lembaga Pendidikan dan Pemibinaan Manajemen, Jakarta. Sampai sekarang pun ia
kadang mengambil cuti untuk mengikuti kursus pendek. “Karir saya satu lagi:
siswa profesional abadi,” katanya. Dua-tiga minggu ia cuti untuk pergi ke
Harvard, Tokyo, London School of Economic, untuk meng-update pengetahuan.
Terakhir, 2001 lalu, ia mengikuti Wharton Fellows Program, Amerika, selama enam
bulan, untuk belajar dotcom.
“Kalau di bisnis, kunci sukses
saya: think, act, learn, baca, dengar, lihat,” katanya. “Kedua, kalau saya
tidak tahu, saya tanya. Saya juga tidak merasa sungkan menceritakan kegagalan
saya,” ujarnya lagi.
Selain itu, pegangannya:
do the right thing, do the thing right. Do the right thing diartikan sebagai
suatu pedoman pada pola manajemen. Do the thing right memiliki penekanan
terhadap pentingnya suatu action. “Prinsip saya, bisnis dan politik tak boleh
campur,” ujar pengagum pengusaha plastik dari Taiwan, Wai-Sze Wang, ini. “Tidak
ada proteksi. Bisnis, ya, bisnis,” katanya.
Baginya bisnis adalah mengembangkan sumberdaya yang ada, responsif terhadap sesuatu hal, konsisten dan bertanggung jawab untuk kehidupan yang lebih baik. Prinsip dan nilai yang ia junjung kuat antara lain "Continous Improvement", dimana harus terus berinovasi dan berimprovisasi dalam mengembangkan produktivitas, dengan. Waktu yang lebih cepat, kualitas lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah. Ada beberapa hal lain yang ia pegang teguh, juga yakni "Hand on/down to earh" dimana sikap adalah tindakan nyata kita. "Janganlah menghabiskan waktu sia-sia, lakukan dengan selalu mendengarkan serta terlibat di dalamnya", ujarnya pada Tionghoanews.con. Integrity, yaitu menjungjung tinggi nilai kejujuran dan accountability. Teamwork, bergerak maju sebagai sebuah tim yang saling melengkapi untuk ke arah kemajuan bersama sesuai dengan tujuan awal. Selanjutnya adalah memaknai people, planet, profit, yakni apapun usaha yang dilakukan, pertama adalah untuk memakmurkan masyarakat, untuk kelestarian dunia dan juga tidak terlepas pada laba yang akan diperoleh.
Baginya bisnis adalah mengembangkan sumberdaya yang ada, responsif terhadap sesuatu hal, konsisten dan bertanggung jawab untuk kehidupan yang lebih baik. Prinsip dan nilai yang ia junjung kuat antara lain "Continous Improvement", dimana harus terus berinovasi dan berimprovisasi dalam mengembangkan produktivitas, dengan. Waktu yang lebih cepat, kualitas lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah. Ada beberapa hal lain yang ia pegang teguh, juga yakni "Hand on/down to earh" dimana sikap adalah tindakan nyata kita. "Janganlah menghabiskan waktu sia-sia, lakukan dengan selalu mendengarkan serta terlibat di dalamnya", ujarnya pada Tionghoanews.con. Integrity, yaitu menjungjung tinggi nilai kejujuran dan accountability. Teamwork, bergerak maju sebagai sebuah tim yang saling melengkapi untuk ke arah kemajuan bersama sesuai dengan tujuan awal. Selanjutnya adalah memaknai people, planet, profit, yakni apapun usaha yang dilakukan, pertama adalah untuk memakmurkan masyarakat, untuk kelestarian dunia dan juga tidak terlepas pada laba yang akan diperoleh.
Hingga kini Pt. Raya
Garuda Mas telah mengantongi izin Internasional dan bermarkas di Singapore. Ia
mengambarkan bahwa bisnis yang dijalankan harus yang berkaitan dengan
kehidupan, seperti pohon. Apa yang dibutuhkan pohon yakni berupa H2O dan CO2,
sebgai output-nya O2. Pengalaman masa kecil Sukanto Tanoto yang sangat keras
ternyata telah memberikan pelajaran yang sungguh luar biasa dan berpengaruh
sangat serius kepada keberhasilannya memimpin beberapa perusahaan miliknya.
Kehidupan masa kecil yang diskriminatif terhadap ras yang mengalir ditubuhnya
membuatnya bertahan untuk mendapatkan haknya. Perjalanannya sebagai seorang pebisnis
pun tidak langsung berada di garis yang paling atas. Beliau memulai semuanya
dari karir yang rendah. Namun secara dramatis, beliau mampu bertahan dan bahkan
mengambil keuntungan dari krisis yang terjadi di Indonesia.
Biografi Martua Sitorus
– Pengusaha Sukses PT Musim Mas Medan
Penampilannya sederhana. Orangnya
tidak banyak bicara dan sebagaimana pengusaha keturunan China di Indonesia,
Martua Sitorus, juga menganut paham sedikit bicara banyak bekerja.
Tiga tahun terakhir, namanya
bertengger di papan orang terkaya di dunia versi majalah Forbes. Awalnya Martua
bekerja di PT Musim Mas Medan di pabrik es. Karena orangnya rajin dan mampu
mengembangkan usaha Musim Mas, bos usaha perdagangan minyak sawit mentah dan
sabun cuci itu, Karim, memercayakan penjualan sabun dan minyak sawit mentah
kepada Martua.
Bila tahun lalu Martua menempati
peringkat 522 terkaya di dunia dengan jumlah kekayaan US$1,4 miliar, kini
kekayaan Martua meningkat menjadi US$3,0 miliar. Peringkat pun terdongkrak menjadi
316.
Sesungguhnya kekayaan Martua jauh di
atas angka tersebut jika asset yang ditangani pihak ketiga (perusahaan yang
dikendalikan pihak lain, namun dananya dari Martua) ikut dihitung. Misalnya,
pembangunan J.W. Marriot Medan yang sebagian sahamnya dimiliki Martua
Sitorus.
Demikian juga perkembunan kelapa sawit yang kini dikembangkan di Afrika Barat seluas 200.000 ha belum masuk hitungan Forbes.
Demikian juga perkembunan kelapa sawit yang kini dikembangkan di Afrika Barat seluas 200.000 ha belum masuk hitungan Forbes.
Martua sempat menyandang orang
terkaya ke-7 di Indonesia pada 2007 dan ke 14 pada 2006 versi majalah yang sama.
Meski berkebangsaan Indonesia, dia saat ini tinggal di Singapura sambil
menyetir semua gurita bisnisnya.
Martua Sitorus, sesungguhnya
dibesarkan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang menjual minyak sawitnya
kepada perusahaan yang ditangani Martua dan keluarga lewat PT Karya Prajona
Nelayan yang berkali-kali mendapatkan penghargaan Primaniyarta dari Departemen
Perdagangan sebagai sebuah perusahaan trader yang mampu memasok devisa besar
bagi kocek negara.
Perjalanan bisnis Martua bukan tidak
pernah dihadang masalah. Ketika pajak ekspor crude palm oil (CPO) dekade
1990-an sempat mencapai 80 persen, perusahaan trading minyak sawit mentah itu
sempat dituding mengekspor CPO secara illegal ke luar negeri untuk menghindari
pajak ekspor yang relatif tinggi (sekarang namanya bea keluar CPO dan produk
turunnya). Adiknya, Ganda Sitorus sempat buron dan kini keberadaannya tinggal
di Singapura.
Hal lain yang pernah membuat Martua
pusing ketika salah satu anak usahanya yang mengekspor CPO
ke Rotterdam ditunding mencampur minyak sawit mentah dan solar,
sehingga ditolak pembeli dari Eropa. Hadangan tersebut bisa dilewati Martua dan
group bisnisnya, walaupun harus mengorbankan dana yang tidak kecil. Ongkos
mengangkut kembali CPO dari Rotterdam, bukan sedikit dan kerugian
perusahaannya akibat CPO bercampur minyak solar itu lumayan besar.
Martua lahir 49 tahun lalu di
Pematang Siantar, Sumatra Utara. Sarjana ekonomi dari Universitas HKBP
Nommensen, Medan, yang kecilnya dikenal dengan nama Thio Seng Hap dan
dikenal juga dengan panggilan A Hok Martua dulu sempat bekerja di pabrik es
milik PT Musim Mas di Belawan.
Setelah Martua mengetahui dan
memahami seluk beluk bisnis minyak sawit di pasar internasional, dia menggaet
keluarga Kwok Bersaudara untuk bekerja sama mengembangkan bisnisnya
di Indonesia.
Martua memulai karir bisnisnya
sebagai pedagang minyak sawit dan kelapa sawit di Indonesia dan
Singapura. Bisnisnya berkembang pesat karena Kwok Bersaudara terutama William
Kwok memasok modal dan memberikan kepercayaan penuh kepada Martua mengembangkan
dan mengendalikan bisnisnya di Indonesia.
Mulai dari bisnis memasok gula ke
Indonesia, perkapalan (pengangkutan), tangki timbun, pemasok pupuk kimia,
perdagangan minyak sawit mentah (PT Karya Prajona Nelayan), perkebunan kelapa
sawit, pabrik minyak goreng hingga pabrik pengolahan kelapa sawit dirambah
mulai dari Sumatra dan Kalimantan.
Pengembangan bisnis Martua tidak
terlepas dari pemberian fasilitas kredit oleh Bank Mandiri. PT Prajona Nelayan
Group (sebelum diubah namanya menjadi Wilmar Trading) mendapatkan kredit
investasi dan modal kerja dari Bank Mandiri.
Perusahaan ini pun sempat
dikendalikan dari Gedung Bank Mandiri Medan sebelum pindah ke J.W. Marriot
Hotel Medan yang kini sahamnya dimiliki sebagian besar oleh Martua
Sitorus.
Pada 1991 Martua mampu memiliki
kebun kelapa sawit sendiri seluas 7.100 hektare di Sumatra Utara. Pada tahun
yang sama pula Martua bisa membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit
pertamanya.
Warga keturunan Tionghoa kemudian
melebarkan sayapnya dengan bendera Wilmar (singkatan dari William Kwok dan
Martua) International Limited. Perusahaan agrobisnis terbesar
di Asia ini merupakan perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek
Singapura. Bahkan, untuk pabrik biodiesel, dia memiliki produksi terbesar di
dunia. Meski sebagai pemilik, Martua masih menduduki jabatan direktur eksekutif
di Wilmar.
Pembangunan biodiesel dilakukan di
Riau pada 2007 dengan membangun tiga pabrik biodiesel, masing-masing
berkapasitas produksi 350.000 ton per tahun, sehingga total kapasitasnya 1,050
juta ton per tahun.
Di negeri ini, Wilmar memiliki
sekitar 48 perusahaan. Salah satunya adalah PT Multimas Nabati Asahan, yang
memproduksi minyak goreng bermerek Sania. Dalam laporan keuangan Wilmar, total
aset Wilmar pada 2007 mencapai US$15,5 miliar, dengan pendapatan US$16,46
miliar. Pada tahun itu Wilmar juga bisa membukukan laba bersih US$675 juta.
No comments:
Post a Comment