KATA
PENGANTAR
Puji dan Syukur kita panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya, makalah ini dapat
diselesaikan. Shalawat dan Salam tetap kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya yang
senantiasa menjalankan sunnah-sunnah beliau.
Tidak lupa penyusun ucapkan kepada
Bapak/Ibu guru yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penyusun,
dan juga teman-teman yang ikut menyumbang pikirannya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan yang berjudul “ Islam
Dinusantara”
Penyusun mohon kepada bapak/Ibu
guru khususnya, dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan
kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya
maupun isinya, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah – makalah yang akan datang.
Tanjung
Morawa, 26 Oktober 2015
Tim
Penyusun
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar
belakang
Pada masa
kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku
bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku
bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika
dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran
jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan
Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan
suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir,
lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya
yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam masa kedatangan dan penyebaran
Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang bercorak Indonesia-Hindu. Di
Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda,
Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama Islam yang datang ke
Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk
agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut
agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal
perbedaan golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagangpedagang
yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada
pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya
sebagai anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu,
ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di
dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih tinggi dari pada
orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur masyarakat menempati
kedudukan bawahan.
Proses islamisasi di Indonesia
terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak: orang-orang muslim
pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Indonesia
sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik, ekonomi, dan
sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki & mengisi
masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yg
ditempuh oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan
dengan kondisi sosial budaya yang telah ada. Dengan demikian, pada tahap
permulaan islamisasi dilakukan dengan saling pengertian akan kebutuhan &
disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama Islam pada
masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor
ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia. Hal
itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan
internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah islamisasi dan
silang budaya nusantara ?
1.3.Tujuan
Agar kita mengetahui sejarah
islamisasi dan silang budaya nusantara
BAB II
Pembahasan
Penyebaran
islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia
dan juga paling tidak jelas sumbernya. Secara umum ada dua proses yang mungkin
telah terjadi. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama
islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia yang telah
memeluk agama islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia .Ruang
ligkup kajian sejarah islam, Indonesai sejak abad 14 sampai abad ke19 yang
menjadi perhatian para sejarawan adalah bagaimana proses masuknya islam di Asia
Tenggara termasuk nusantara, darimana asal islam, siapa yang membawa serta
pengaruh yang dihasilkan akibat islamisasi tersebut. Banyak para ahli yang
mengemukakan teori tentang kapan islam datang, dari mana asalnya, serta siapa
pembawa islam tersebut. Berikut adalah beberapa teori yang di kemukakan oleh
para ahli yang menjelaskan tentang darimana, siapa yang membawa, serta bukti
yang ada tentang masuknya islam ke nusantara.
Pijnappel
mengemukakan bahwa asal islam adalah dari Gujarat/ Malabar, yang dibawa oleh
Orang-orang yang bermadzhab syafi’i yang berimigarasi dan menetap di wilayah
India. Snouck Hurgronje, menerangkan islam datang ke nusantara pada abad
ke-12, yan berasal dari anak benua India, dan di bawa oleh Para pedagang yang
sebagai perantara perdagangan Timur Tengah dengan nusantara datang ke dunia
Melayu, kemudian di susul dengan orang-orang arab yang kebanyakan keturunan
Nabi. Moquette, menerangkan bahwa islam berasal dari Gujarat, yang di
bawa oleh Para pengimpor batu nisan dari gujarat dengan mengimpor batu nisan
ini maka orang nusantara mengambil islam,
2.1 Proses Islamisasi di Nusantara
Menurut Hasan Muarif Ambary ada tiga
tahap proses islamisasi di Nusantara. Pertama, fase kehadiran
para pedagang muslim (abad ke-1 sampai ke-4 H). Sejak permulaan abad Masehi
kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Akan
tetapi apakah ada data tentang masuknya penduduk asli ke dalam Islam? Meskipun
ada dugaan bahwa dalam abad ke-1 sampai ke-4 H terdapat hubungan perkawinan
antara pedagang muslim dengan penduduk setempat, sehingga mereka memeluk agama
Islam. Pada abad ke 1-4 H / 7-10 M Jawa tidak disebut-sebut sebagai tempat
persinggahan pedagang. Mengenai adanya makam Fatimah binti Maimun di Leran
Gresik dengan angka tahun 475 H/1082 M bentuk maesan dan jiratnya menunjukkan
pola gaya hias makam dari abad ke-16 M. Fatimi berpendapat bahwa nisan itu
ditulis oleh orang Syiah dan ia bukan seorang muslim Jawa, tetapi seorang
pendatang yang sebelumnya bermukim di timur jauh.
2.2.Proses Islamisasi di Sumatera
Aceh, daerah paling barat dari
Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di
Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari
Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H /
1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.
Adanya berita dari Marcopolo yang
mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi Sumatera penduduk Sumatera Utara
beragama Hindu kecuali Ferlec yang sudah beragama Islam dan adanya batu
nisan kubur di Aceh dengan nama Sultan Al Malik al-Saleh yang berangka tahun
wafat 1297 M menandakan bahwa Islam sudah tumbuh dan berkembang di wilayah
Sumatera. Adapun teori yang mengatakan Islam masuk Indonesia abad ke-7 M, tidak
lebih realitas “masuknya” yang dibawa oleh para pedagang muslim karena dalam
perjalanan pelayaran dagang mereka ke dan dari Cina selalu singgah
2.3. Proses Islamisasi di Jawa
Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu dan kerajaan-kerajaan
Budha yang cukup kokoh dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil peradabannya
masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur yang merupakan peninggalan
Budha Mahayana dan kelompok candi Roro Jonggrang di desa Prambanan dan
peninggalan-peninggalan lainnya yang tersebar di Jawa.Setelah agama Islam
datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot pengaruhnya di
masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik.
Menurut Sartono, islamisasi
menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai hasil dakwah para
wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping kewibawaan
rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang politik, bahkan ada yang
memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis mereka merupakan ancaman bagi
raja-raja Hindu di pedalaman.
2.4. Persialangan Budaya di
Nusantara
Indonesia secara tepat digambarkan
Bung Karno sebagai “taman sari dunia”. Sebagai “negara kepulauan” terbesar
di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan
antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang berlimpah, Indonesia
sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus
peradaban.
Menurut Denys Lombard (1996: I, 1),
“Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia ini—kecuali mungkin Asia Tengah—yang,
seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar
dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu.” Dia melukiskan adanya beberapa ‘nebula
sosial-budaya’ yang secara kuat mempengaruhi peradaban Nusantara (secara khusus
Jawa): Indianisasi, jaringan Asia (Islam dan China), serta arus
pembaratan.
Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha)
mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua kerajaan yang terkenal,
Kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat
sebagai pengikut setia Wisnu, yang kemudian berkembang secara luas dan dalam
hingga seribu tahun kemudian (abad ke-15), terutama di Sumatra, Jawa dan Bali.
Struktur konsentris kosmologi India berpengaruh pada mentalitas orang-orang di
wilayah tersebut, terlebih di Jawa dan Bali, seperti tampak pada cara berfikir
dan sistem tata susila, juga dalam upacara-upacara dan ungkapan seni.
Pengaruh Islamisasi mulai dirasakan
secara kuat pada abad ke-13, dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal
seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar Aceh. Dari ujung Barat Nusantara,
pengaruh Islam secara cepat meluas ke bagian Timur meresapi wilayah-wilayah
yang sebelumnya dipengaruhi Hindu-Budha, yang akselarasinya dipercepat justru
oleh penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa di Nusantara sejak abad ke-16. Kehadiran
Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia (world view) dan etos
masyarakat Nusantara, terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir.
Islam meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan
dengan konsepsi ‘kesetaraan’ dalam hubungan antarmanusia, konsepsi ‘pribadi’
(nafs, personne) yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi
waktu (sejarah) yang ‘linear’, menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar
(Lombard, 1996: II, 149-242).
Pengaruh China hampir bersamaan dan
saling meresapi (osmosis) dengan pengaruh Islam, yang mulai dirasakan
setidaknya sejak abad ke-14 (zaman Dinasti Ming di China), ketika
imigran-imigran baru dari Fujian dan Guangdong tiba di Nusantara, dan segera
membaur ke dalam struktur sosial-budaya yang ada tanpa hambatan berarti
(Coppel, 1983). Kehadiran anasir China berperan penting dalam memperkenalkan
dan mengembangkan teknik produksi berbagai komoditi (gula, arak dan lain-lain),
pemanfaatan laut untuk perikanan, pembudidayaan tiram dan udang, dan pembuatan
garam, pengadopsian teknik serta perlengkapan perdagangan, gaya hidup (arsitektur,
perhiasan, hiburan, tontonan, beladiri, dan romannya), peran
sosial-budaya klenteng serta keterlibatan ulama keturunan China dalam proses
Islamisasi (Lombard, 1996: II, 243-337). Pengaruh pembaratan
diperkenalkan oleh kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul oleh Belanda dan
Inggris. Tetapi aktor utamanya tak pelak lagi adalah Belanda. Sejak kedatangan
armada pertama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada 1596, yang
disusul oleh operasi ’Serikat Perseroan Hindia Belanda’ (VOC) sejak 1602,
secara berangsur proses pembaratan mulai dirasakan. Dengan jatuhnya VOC pada
tahun 1799, hegemoni atas Hindia diserahkan dari
‘perusahaan-swasta-kolonial’ kepada imperium negara-kolonial. Negara kolonial
Belanda mulai menancapkan pengaruhnya setelah kekuasaan sementara Inggris
selama perang Napoleon (1811-1816). Sejak itu, sebagian besar kepulauan
Nusantara secara berangsur dan berbeda-beda diintegrasikan ke dalam satu
wilayah kekuasaan kolonial, yang mentransformasikan pusat-pusat kekuasaan yang
terpencar ke dalam suatu negara kesatuan kolonial. Intensifikasi proses
pembaratan terjadi selama masa rezim ‘Liberal’ pada paruh kedua abad ke-19 yang
dilanjutkan oleh rezim ‘Politik Etis’ pada awal ke-20 (Latif, 2005).
Pengaruh pembaratan membawa
mentalitas modern yang telah dibuka oleh pengaruh Islam menuju perkembangan
yang lebih luas dan dalam. Pada bidang sosial-ekonomi, pengaruh Barat
memunculkan sistem perkebunan, perusahaan dan perbankan modern, pemakaian besi,
perkembangan angkutan, khususnya kereta api, dan pengobatan modern. Pada bidang
sosial-politik, pengaruhnya dirasakan pada modernisasi tata-kelola negara dan
masyarakat, klub sosial, organisasi, dan bahasa politik modern. Pada bidang
sosial-budaya, pengaruhnya tampak pada kehadiran lembaga pendidikan dan
penelitian modern, perkembangan tulisan latin, percetakan dan pers, dan gaya
hidup (Lombard, 1996: I). Sedemikian ramainya penetrasi global silih
berganti, sehingga Nusantara sebagai tempat persilangan jalan (carrefour) tidak
pernah sempat berkembang tanpa gangguan dan pengaruh dari luar. Akan tetapi,
seperti dikatakan oleh Denys Lombard (1996), situasi demikian tidak perlu
dipandang sebagai kerugian. Posisi sebuah negeri pada persilangan jalan, pada
titik pertemuan berbagai dunia dan kebudayaan, jika dikelola secara baik,
mungkin dalam evolusi sejarahnya bisa membawa keuntungan, kalau bukan syarat
untuk terjadinya peradaban agung.
2.3. Bukti
– Bukti Peninggalan Islam di Indonesia
· Masjid Agung Banten (bangun beratap tumpang)
· Masjid Demak (dibangun
para wali)
· Karya seni atau kaligrafi
· Nisan Di Leran,
Gresik (Jawa timur) terdapat batu nisan bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang
memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti
Maimun yang berangka tahun 475 Hijriah (1082 M);
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Proses islamisasi tidak mempunyai
awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi lebih merupakan proses
berkesinambungan yang selain mempengaruhi masa kini, juga masa yang akan
datang.Islam telah dipengaruhi oleh lingkungannya, tempat Islam ber-pijak dan
berkembang. Di samping itu, Islam juga menjadi tra-disi tersendiri yang
tertanam dalam konteks
Agama Islam juga membawa
perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan memperkembangkan budaya
Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai daerah di Indonesia
selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan mengalami proses
pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian, proses islamisasi di berbagai
tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat
setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan
unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut
dilakukan oleh penyebar Islam karena di Indonesia telah sejak lama terdapat
agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.
Pada umumnya kedatangan Islam dan
cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan maupun rakyat umum dilakukan
dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai sarana dakwah oleh para mubalig
atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula golongan bangsawan menjadikan Islam
sebagai alat politik untuk mempertahankan atau mencapai kedudukannya, terutama
dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.
Daftar Pustaka
.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991), him.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan
Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002) hlm.20-21
] P.A. Hosein Djadjadiningrat, “Islam di
Indonesia”, dalam Kennet Morgan, ed., Islam Djalan Mutlak, terj. Abu
Salamah, ddk. (Djakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya Tiongkok
Indonesia – Prof Kong Yuanzhi
No comments:
Post a Comment