Tuesday, 24 November 2015

Dongeng dan Legenda Tanah Air 1



Dogeng Rawa Pening

Rawa Pening


Dahulu kala, warga desa Ngebel terkejut melihat seekor ular yang sangat besar. Karena takut ular itu akan menyerang mereka, warga desa beramai-ramai menangkap ular yang bernama Baru Klinting itu. Setelah tertangkap ular itu dibunuh dan dagingnya disantap dalam sebuah pesta. Hanya satu warga desa yang tidak mereka ajak menikmati pesta itu, yaitu seorang nenek tua miskin bernama Nyai Latung.
Beberapa hari kemudian muncul seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun. Ia tampak kumal dan tidak terawat, bahkan kulitnya pun ditumbuhi penyakit. Anak itu mendatangi setiap rumah dan meminta makanan kepada warga desa. Namun tak seorang pun memberinya makanan atau air minum. Mereka malah mengusirnya dan mencaci makinya.
Akhirnya ia tiba di rumah yang terakhir, rumah Nyai Latung. Di depan rumah reot itu Nyai Latung sedang menumbuk padi dengan lesung.
“Nenek,” kata anak itu, “Saya haus. Boleh minta air, nek?”
Nenek Latung mengambil segelas air yang diminum anak itu dengan lahap. Nyai Latung memandangi anak itu dengan iba.
“Mau air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma punya nasi, tidak ada lauk.”
“Mau, nek. Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu.
Nenek segera mengambilkan nasi dan sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk anak itu, Anak itu makan dengan lahap, hingga tidak sebutir nasipun tersisa.
“Siapa namamu, nak? Di mana ayah ibumu?”
“Namaku Baru Klinting. Ayah dan ibu sudah tiada.”
“Kau tinggal saja di sini menemani nenek,”
“Terima kasih, nek. Tapi saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, nek. Hanya nenek saja yang baik hati kepadaku.”
Baru Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah kepadanya. Kemudian, ia pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung.
“Nek, nanti jika nenek mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas lesung. Nenek akan selamat.”
Meskipun tidak mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja.
Baru Klinting masuk ke desa lagi. Ia mendatangi anak-anak yang sedang bermain. Ia mengambil sebatang lidi lalu menancapkannya di tanah. Lalu ia memanggil anak-anak.
“Ayo... siapa yang bisa mencabut lidi ini?”
Anak-anak mengejek Baru Klinting namun ketika satu per satu mereka mencoba mencabut lidi, tak ada yang berhasil. Mereka pun memanggil anak-anak yang lebih besar. Semua mencoba, semua gagal. Orang-orang dewasa pun berkumpul dan mencoba mencabut lidi. Tetap tidak ada yang berhasil.
Akhirnya Baru Klinting sendiri yang mencabut sendiri lidi itu. Dari lubang di tanah bekas menancapnya lidi memancar air yang makin lama makin banyak dan makin deras. Orang-orang berlarian kalang kabut, Salah seorang membunyikan kentongan sebagai tanda bahaya. Namun air cepat menjadi banjir dan menenggelamkan seluruh desa.
Nyai Latung mendengar bunyi kentongan di kejauhan, Ia teringat pesan Baru Klinting dan segera naik ke atas lesung. Baru ia duduk di dalam lesung, air sudah datang dan makin tinggi. Lesung itu terapung-apung. Nyai Latung melihat para tetangganya sudah mati tenggelam.
Setelah beberapa lama, air berhenti naik dan perlahan-lahan mulai surut. Lesung Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Hanya ia yang selamat dari banjir. Warga desa yang lain semuanya tewas.
Air tidak seluruhnya kering kembali namun meninggalkan genangan luas berbentuk danau yang sekarang disebut Rawa Pening. Rawa Pening terletak di daerah Ambarawa.
Rawa Pening luasnya 2670 hektare. Sekarang digunakan untuk pengairan dan budi daya ikan selain juga menjadi tempat wisata. Enceng gondok yang memenuhi permukaannya digunakan untuk bahan kerajinan dan keperluan lain. Sedangkan air sungai Tuntang yang berhulu di danau itu digunakan untuk pembangkit listrik. Namun sekarang Rawa Pening mengalami pendangkalan dan dikhawatirkan lambat laun akan lenyap bila tetap dibiarkan seperti saat ini.



Dogeng Ande-Ande Lumut ( Jawa Tengah )


Konon di desa Dadapan tinggallah seorang janda yang sangat miskin dan hina, dengan anak yang sangat tampan, gagah dan perkasa bernama Ande-Ande Lumut. Banyak sudah gadis yang melamarnya, tetapi tak satupun diterima. “Bagaimana dengan gadis-gadis yang mengharapkan engkau menjadi suaminya, Nak?” , Tanya Nyi Dadapan sambil bekerja kepada Ande-Ande Lumut. Ande-Ande Lumut diam sesaat dan berkata, “Saya belum berpikir tentang pernikahan, Bu?”. Karena mengerti anak angkatnya belum berhasrat untuk membicarakan tentang pernikahan, maka Nyi Dadapan berhenti membicarakan hal itu.
Tak jauh dari desa Dadapan terdapat sebuah desa yang bernama Karang Wulusan. Syahdan, desa itu terpisah oleh sebuah sungai yang cukup besar dari desa Dadapan. Di sana tinggallah seorang janda yang hidup berkecukupan bernama Nyi Menah. Ia mempunyai enam orang anak yang cantik-cantik bernama : Kleting Merah, Kleting Hijau, Kleting Biru, Kleting Ungu, Kleting Kelabu, Kleting Hitam. Pada suatu hari datanglah seorang gadis berpakaian kotor, gadis itu bernama Kleting Kuning. “Saya sangat lapar dan haus sudihkah nona memberi makan dan minum?”, pinta gadis itu. Keenam gadis itu mencemooh. Untunglah Nyi Menah segera mengajak gadis atu, memberinya makan dan minum serta ganti pakaian.

“Eh, Kleting Kuning, jemput bawaan ibu itu”, perintah Kleting Merah dengan nada kasar. Kleting Kuning segera menjemput Nyi Menah yang pulang dari pasar. Kleting Kuning seorang anak yang rajin, seadngkan keenam gadis anak Nyi Menah pemalas dan pekerjaannya hanya bersolek. “Di desa Dadapan ada seorang jejaka tampan yang menginginkan seorang istri, namanya Ande-Ande Lumut, nah kalian segera ke sana,” kata Nyi Menah kepada keenam anak gadisnya. 

Keenam gadis itu segera berangkat. Mereka saling mendahului agar segera terpilih menjadi istri Ande-Ande Lumut. Tiballah mereka di pinggir sungai yang memisahkan desa Dadapan dan Karang Wulusan. “Bagaimana caranya kita menyeberang?” Keluh Kleting Biru. Tiba-tiba muncullah ketam raksasa bernama Yuyu Kangkang. Mau kemanakah kalian ini?”. Tanya YUyu Kangkang. Kami mau menyeberangi sungai ini, maukah kau menolong kami, “ pinta Kleting Merah. Kemudian Yuyu Kangkang mengajukan syarat. “Jika aku sudah menyeberangkan kalian, maka aku akan mencium kalian satu persatu”. Pada awalnya keenam gadis itu menolak, tapi itulah jalan stu-satunya untuk sampai ke seberang sungai. Dengan terpaksa mereka menyetujui permintaan. Setelah itu Yuyu Kangkang dengan cekatan menyeberangkan keenam Kleting itu.
Setelah sampai di seberang sungai. “Geli aku!, bau, teriak keenam Kleting itu setelah mereka diseberangkan Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak bias mengingkari janji. Yuyu Kangkang langsung mencium Kleting itu satu persatu. Dalam pikiran mereka yang penting segera bertemu dengan pria idaman yang tak lain adalah Ande-Ande Lumut.

Sesampainya di rumah Nyi Dadapan, keenam Kleting segera masuk dan memperkenalkan diri. “Sekarang kalian maju satu persatu, mulai dari Kleting yang paling tua”, kata Nyi Dadapan. Kleting Merah segera maju. Ia berjalan lenggak-lenggok berusaha menarik perhatian Ande-Ande Lumut. Sementara itu, Nyi Dadapan melantunkan lagu. “Anakku, si Ande-Ande Lumut temuilah ada gadis yang ingin melamarmu, si gadis nan cantik rupawan Kleting Merah yang jadi namanya”. Jawab Ande-Ande Lumut. “Duh ibu saya belum menerima rupa cantik bekas si Yuyu Kangkang. Kleting Merah sangat kecewa, begitupun Kleting lainnya.
Sementara itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya Kleting Kuning berangkat menyusul keenam Kleting. Tibalah ia di tepi sungai besar. “Hai gadis manis, tentu kau ingin menyeberang. Mari kutolong, tapi dengan syarat kau harus kucium”, kata Yuyu Kangkang dengan mantap. “Hep”, Kleting Kuning segera naik ke punggung Yuyu Kangkang. Ia duduk dengan baik. Dengan perlahan-lahan Yuyu Kangkang berenang menuju tepi sungai di seberang. “Krubyuk sengok, Krubyuk sengok, Krubyuk sengok”, begitulah irama Yuyu Kangkang berenang. 

Setelah mereka tiba di seberang, Kleting Kuning segera membuka kotoran ayam yang dibungkus daun pisang. Lalu dioleskannya di kedua pipinya. Yuyu Kangkang kemudian menagih janji. “Sekarang aku tinggal menciummu gadis manis”. Kleting Kuning segera memasang pipinya yang diolesi kotoran ayam. “Tobat, bau, aku muak, aku tidak mau menciummu. Pergi!”, teriak Yuyu Kangkang sambil meninggalkan Kleting Kuning.
Kleting Kuning tiba di rumah Nyi Dadapan. “Dinda Candra Kirana, akhirnya kau kutemukan!”, kata Pangeran Inu Kertapati yang telah menyamar sebagai Ande-Ande Lumut. Kleting Kuning tergagap dan bingung, ketika menyadari dirinya dihampiri seorang Pangeran. Akhirnya dua sejoli, putra dan putrid raja itu bertemu kembali. Pada hari pernikahannya, mereka tidak lupa menjemput Nyi Dadapan, Nyi Menah dan keenam anak gadisnya. Akhirnya mereka hidup bahagia.


   
Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkawinan tersebut. Maka, bahagialah sang raja.
Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. "Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku", kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.

Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. "Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya." Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. "Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri," kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.
Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan..

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.

No comments:

Post a Comment