DONGENG Asal Mula Danau Toba
pada jaman dahulu kala hiduplan seorang pemuda bernama
Toba. Ia adalah seorang yatim piatu. Sehari-hari ia bekerja di ladang. Sesekali
dia mencari ikan di sungai yang berada tak jauh dari gubugnya. Ikan hasil
tangkapannya biasanya dijadikan sebagai lauk dan sisanya dijual ke pasar.
Pada suatu hari Toba memancing sepulang dari Ladang.
Ia sangat berharap mendapatkan ikan yang besar yang bisa segera dimasaknya
untuk dijadikan lauk. Terpenuhilah harapannya itu. Tak berapa lama ia
melemparkan pancingnya ke sungai, mata kailnya telah disambar ikan. Betapa
gembiranya ia ketika menarik tali pancingnya dan mendapati seekor ikan besar
tersangkut di mata pancingnya.
Sejenak toba memperhatikan ikan besar yang berhasil
dipancingnya itu.” Ikan yang aneh.” Gumannya. Seumur hidupnya belum pernah
dilihatnya ikan seperti itu. Warna ikan itu kekuningan dan sisik-sisiknya
kuning keemasan. Terlihat berkilauan sisik-sisik itu ketika terkena sinar
matahari. Ketika Toba melepaskan mata kailnya dari mulut ikan tangkapannya,
mendadak terjadi sebuah keajaiban. Ikan aneh bersisik kuning keemasan itu
menjelma menjadi seorang perempuan yang cantik jelita wajahnya.
Toba terheran-heran mendapati keajaiban yang
berlangsung di depan matanya itu. Ia hanya berdiri dengan bola mata membulat
dan mulut melongo.
“Tuan.” Kata perempuan jelmaan ikan indah itu.”Aku
adalah kutukan Dewa karena telah melanggar larangan besarnya. Telah ditakdirkan
kepadaku, bahwa aku akan berubah bentuk menyerupai makhluk apa saja yang memegang
atau menyentuhku. Karena tuan telah memegangku, maka akupun berubah menjadi
manusia seperti Tuan ini.”
Toba memperkenalkan namanya. Begitu pula dengan
perempuan berwajah jelita itu.” Namaku, putri, tuan.”
Toba lantas menjelaskan pula keinginannya untuk
memperistri Putri karena dia terpesona kecantuikan si perempuan jelmaan ikan
itu.” Bersediakah engkau menikah dengan ku?” tanyanya setelah pembicaraan
beberapa saat.
“Baiklak, aku bersedia, tuan, Selama tuan bersedia
pula memenuhi satu syarat yang kuajukan.” Jawab Putri
“Syarat apa yang engkau kehendaki? Sebutkan. Niscaya
aku akan memenuhinya.”
“Permintaanku hanya satu, hendaklah tuan menutup
rapat-rapat rahasiaku. Jangan sekali-kali tuan menyebutkan jika aku berasal
dari ikan. Jika tuan menyatakan kesedian tuan untuk menjaga rahasia ini, aku
bersedia menjadi istri Tuan.”
“Baiklah.” Kata Toba.” Aku akan menutup rapat-rapat
rahasimu ini. Rahasia ini hanya kita ketahui berdua saja.”
Toba dan Putri pun menikah. Keduanya hidup rukun dan
berbahagia meski dalam kesederhanaan. Kebahagian mereka serasa kian lengkap
dengan kelahiran anak mereka. Seorang anak laki-laki. Samosir namanya.Samosir
tumbuh mejadi anak yang sehat. Tubuhnya kuat. Sayang dia agak nakal serta
pemalas. Keinginannya hanya tidur-tiduran saja. Ia seperti tidak peduli atau
ingin membantu kerepotan ayahnya yang sibuk bekerja di ladang. Bahkan, untuk
sekedar mengantar makanan dan minuman untuk ayahnyapun, Samosir kerap menolak
jika diminta. Seandainya mau, dia akan melakukannya dengan malas-malasan, dengan
wajah bersungut-sungut. Bertambah-tambah malas kelakuannya akibat ibunya terus
memanjakannya. Apapun yang dimintanya akan diusahakan ibunya untuk
dipenuhi.Samosir sangat kuat nafsu makannya. Jatah makanan sehari untuk
sekeluarganya bisa dihabiskannya dalam sekali makan. Toba merasa harus bekerja
lebih keras lagi untuk dapat memenuhi keinginan makan anak laki-lakinya yangb
luar biasa itu.
Pada suatu hari Samosir diminta ibunya untuk
mengantarkan makanan dan minuman untuk ayahnya. Samosir yang tengah bermalas-malasan
semula enggan untuk menjalankan perintah ibunya itu. Namun, setelah ibunya
terus memaksa akhirnya dia bersedia melakukannya meski dengan wajah yang
bersungut-sungut.
Samosir membawa makanan dan minuman itu menuju ke
ladang. Ditengah perjalanan, Samosir measa lapar. Dihentikannya langkah menuju
kebun. Ia lantas memakan makanan yang seharusnya diperuntukan bagi ayahnya itu.
Tidak dihabiskannya semua makanan itu melainkan disisakan sedikit. Dengan
makanan dan minuman yang tersisa sedikit itu Samosir melanjutkan perjalanan
menuju ladang. Setibanya di ladang, samosir memberikan makanan dan minuman itu
untuk ayahnya.Toba telah sangat merasa lapar karena bekerja keras sejak pagi
langsung membuka bekal untuk memakannya. Terperanjat dia saat melihat makanan
untuk nya tinggal sedikit.” Mengapa jatah makanan dan minumanku tinggal
sedikit?” tanyanya dengat raut wajah kesal.
Dengan wajah polos seolah tidak melakukan kesalahan,
Samosir menjawab.” Tadi di jalan aku sangat lapar, Ayah. Oleh karenanya, jatah
makanan dan minuman ayah itu telah kumakan sebagian. Tapi, tidak semua
kuhabiskan, bukan? Masih tersedia sedikit makanan dan minuman untuk Ayah.”
“anak tidak tahu diuntung.” Maki toba kepada anaknya.
Kemarahan seketika meninggi. Serasa tidak bisa lagi dia menahan dan bersabar,
umpatannyapun seketika itu meluncur.” Dasar anak keturunan ikan engkau ini.”
Samosir sangat terkejut mendengat umpatan ayahnya. Dia
langsung berlari ke rumah. Pada saat bertemu ibunya, samosir langsung
menceritakan umpatan dan cacian ayahnya yang menyebutkan dirinya adalah
keturunan ikan.
Mendengar pengaduan anaknya, ibu Samosir menjadi
sangat bersedih. Tidak disangka jika suaminya melanggar sumpah untuk tidak
menyebutkannya berasal dari ikan.
Samosir dan ibunya saling berpoegangan. Dalam hitungan
sekejap, keduanya menghilang. Keajaiban pun terjadi. Dibekas pijakan kaki
Samosir dan ibunya menyembur air yang sangat deras. Dari dalam tanah, air
laksana disemburkan keluar seolah tiada henti. Semakin lama tidak semkin
berkuran semburan air itu melainkan semakin besar adanya. Dalam waktu cepat
permukaan tanah itu pun tergenang. Permukaan air terus meninggi dan tek berapa
lama kemudian lembah tempat tinggal Toba telah tergenang air. Terbentuklah
kemudian sebuah danau yang sangat luas di tempat itu.
Penduduk kemudian menamakan danau itu Danau Toba.
Adapun pulau kecil yang berada ditengah-tengah danau toba itu disebut Pulau
Samosir untuk mengingatkan kepada pada anak lelaki Toba.
Legenda Rakyat Sumatera Utara
Berita tentang kecantikan putri raja itu tersebar ke
berbagai pelosok negeri. Berita tersebut juga didengar oleh seorang raja muda
yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya tidak jauh dari kerajaan ayah
sang Putri.
Mendengar
kabar tersebut, Raja Muda yang tampan itu berniat melamar sang putri. Sang raja
kemudian mengumpulkan para penasehat kerajaan untuk memusyawarahkan
keinginannya tersebut.
“Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?” tanya sang raja kepada penasehatnya.
“Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak.
“Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan sebagai permaisuri?” sang Raja kembali bertanya.
“Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang penasehat.
“Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri,” perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja tidak sabar.
“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan ini!” seru Raja Muda.
“Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?” tanya sang Raja kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik bertanya.
“Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang Ayah.
“Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri malu-malu.
“Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!” sanjung sang Ayah.
“Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” tambah sang ayah.
“Baik, ayah!” jawab sang putri.
“Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?” tanya sang raja kepada penasehatnya.
“Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak.
“Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan sebagai permaisuri?” sang Raja kembali bertanya.
“Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang penasehat.
“Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri,” perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja tidak sabar.
“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan ini!” seru Raja Muda.
“Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?” tanya sang Raja kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik bertanya.
“Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang Ayah.
“Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri malu-malu.
“Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!” sanjung sang Ayah.
“Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” tambah sang ayah.
“Baik, ayah!” jawab sang putri.
Menjelang
hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi sang putri pergi mandi
dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di
belakang istana. Di pinggir kolam disiapkan sebuah batu besar untuk tempat
duduk sang putri. Usai berganti pakaian, sang putri segera masuk ke dalam kolam
berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya.
Setelah
beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil
menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri membayangkan betapa bahagianya
saat pernikahan nanti, duduk bersanding di pelaminan bersama sang suami,
seorang Raja Muda yang gagah dan tampan.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri.
“Aduuuh,
hidungku!” jerit sang putri sambil memegang hidungnya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.
“Celaka!
Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang
tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah dengan raja muda, ayah dan ibu
pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya,” pikir sang putri.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.
Sang putri
pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas,
lalu berdoa:
“Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!” doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.
“Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!” doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.
Baru saja
doa itu terucap dari mulut sang putri, tiba-tiba petir menyambar-nyambar
sebagai tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat kemudian, tubuh
sang putri mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih
mulus tiba-tiba mengeluarkan sisik. Sisik tersebut semakin merambat ke atas.
Dayang-dayangnya pun tersentak kaget saat melihat peristiwa itu. Ketika sisik
itu mencapai dada, sang putri segera memerintahkan seorang dayang-dayangnya
untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana.
“Ampun, Tuan!” hormat sang dayang kepada raja.
“Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja.
“Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti ular,” lapor sang dayang.
“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak kaget.
“Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” jawab sang dayang.
“Ampun, Tuan!” hormat sang dayang kepada raja.
“Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja.
“Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti ular,” lapor sang dayang.
“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak kaget.
“Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” jawab sang dayang.
Setelah
mendengar laporan itu, sang raja dan permaisuri segera menuju ke kolam
permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah tidak melihat tubuh sang
putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang
biasa dipakai sang putri untuk duduk.
“Putriku!” seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.
“Putriku!” seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.
“Putriku!
Apa yang terjadi denganmu?” tanya permaisuri cemas.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.
Peristiwa
penjelmaan sang putri menjadi seekor ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas
permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia putus asa karena telah
membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah
ayahnya untuk selalu jaga diri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat
membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang tampan itu.
(SELESA)
LEGENDA PUTRI HIJAU
dizaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli
Lama kira-kira 10 km dari kampung Medan, di Deli Tua sekarang seorang putri
yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau.
Kecantikan puteri itu tersohor kemana-mana, mulai dari Aceh sampai ke ujung
utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh jatuh cinta pada puteri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh kedua saudara laki-laki Putri Hijau. Sultan Aceh sangat marah karena penolakannya itu dianggap sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara kesultanan Aceh dan kesulatanan Deli. Menurut legenda yang tersebut di atas, dengan mempergunakan kekuatan gaib, seorang dari saudara Putri Hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan yang seorang lagi sebagai sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya. Kesultanan Deli Lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa, Putera mahkota yang menjelma menjadi meriam itu, meledak bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo, kira-kira 5 km dari Kabanjahe. Pangeran yang seorang lagi yang telah berubah menjadi seekor ular naga itu, mengundurkan diri melalui satu saluran dan masuk ke dalam Sungai Deli disatu tempat yang berdekatan dengan Jalan Putri Hijau sekarang. Arus sungai membawanya ke Selat Malaka dari tempat ia meneruskan perjalanannya yang terakhir di ujung Jambo Aye dekat Lok Seumawe, Aceh. Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur. Permohonan tuan Putri itu dikabulkan. Tetapi, baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembus angin ribut yang maha dahsyat disusul oleh gelombang-gelombang yang sangat tinggi. Dari dalam laut muncul abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dengan menggunakan rahangnya yang besar itu, diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut. Legenda ini sampai sekarang masih terkenal dikalangan orang-orang Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia. Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan benteng dari Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedangkan sisa meriam, penjelmaan abang Putri Hijau, dapat dilihat di halaman Isatana Maymoon, Medan. Sumber : metro gaib
|
No comments:
Post a Comment